Kamis, 03 Januari 2013

ketika.


Tiga januari dua ribu tigabelas.

Ketika sang surya telah mulai meninggalkanku,
Ketika rembulan pun tak juga mau bersamaku,
Ketika semua pergi menjauh,
Ketika aku tinggal sendiri,
Ketika tiba sepi...

Semua tentang sebuah kata,
Tentang "Saa" yang telah telah berpindah,
Mungkin bukan menjadi "aaS",
Tetapi "aSa".
Sebuah aSa untuk sebuah Saa...

Masih ingatkah kisah sepasang sandal?
Ya, aku paling tak suka sandal  Joger..
Itu "selen", kata orang jawa.

Ya, hari ini, sandal itu, entah kemana...

Sehari sebelum sandal itu berajak dari tahun.

»»  READMORE...

Jumat, 21 Desember 2012

Malam Pertama Sebuah Pertemuan



Matahari sudah tertidur sekitar enam jam yang lalu. Namun Kriwil belum juga menikmati bantalnya yang empuk. Entah apa yang dia pikirkan. Bukan suatu perkara yang menyedihkan, memang, justru sebaliknya. Lihat saja, pandangannya seolah menatap jauhhhh ke depan. Meskipun di depannya hanyalah tembok bercat pink muda yang sudah mengelupas di sana-sini, namun bayangan di matanya adalah sebuah taman yang indah. Taman dimana seharian tadi dia bertemu dengan seseorang.
Namanya Ucrit. Sebut saja begitu. Ucrit. Seorang anak yang termenung di antara puluhan teman-temannya. Ucrit nampak begitu tenang, meskipun teman-temannya sudah membuat seisi taman menjadi riuh. Dan itulah saat dimana Ucrit dipertemukan dengan Kriwil. Kisahnya seperti dalam FTV. Di taman, jalan sambil ngalamun, tiba-tiba ditubruk seseorang yang melaju dengan skeatboard, jatuh, ditolong, hampir berpelukan, grogi, malu, diem-dieman, minta maaf, bilang nggak pa pa, akhirnya kenalan, dianter pulang, minta nomer hape, minta uang, minta makan, minta minta, minta nguik nguik, stop! Kebablasan!
Tidak demikian. Kriwil dan Ucrit hanyalah dipertemukan dengan suatu kebetulan saja. Hanya karena memang sang pembuat kisah menentukan mereka bertemu. Jangan protes. Coba lihat sekali lagi pada Kriwil. Em...sampingnya. Ya. Di samping Kriwil. Itulah Ucrit. Mereka duduk di kursi panjang, berdua. Jaraknya hanya sekitar sejengkal. Namun Kriwil tetap memandang ke depan, bukan ke samping ke arah Ucrit. Nah, sekarang  lihatlah Ucrit, apa yang dia pandang, sama saja.
“Crit, apa kau tau betapa senangnya aku?”, Kriwil mulai membuka pembicaraan, tanpa memindahkan arah pandangnya.
“Mungkin lebih dari yang kurasa, padahal aku tidak bisa mendefinisikan betapa aku bahagia di sini”, Ucrit tersenyum, masih tetap menerawang jauh ke depan, menembus tembok.
“Crit, apa kau melihatnya?”, Kriwil menyipitkan mata memandang ke suatu titik di depannya, sesekali tersenyum.
“Ya, aku tidak buta. Aku melihatnya. Sungguh. Itu membuat aku betah tinggal di sini. Aku pasti bahagia”, Ucrit menggeser duduknya, setengah jengkal.
“Crit, apa kau pernah merasakan betapa berharganya engkau?”, Kriwil melirik Ucrit.
“Aku tak pernah merasa diriku berharga, namun di sini aku bersyukur aku punya kebahagiaan”, Ucrit menengadahkan wajahnya, langit-langit tampak kosong, namun baginya ribuan bintang menghiasinya.
“Crit, bukankah akan lebih mudah bagimu ikut bersama mereka, darimana di sini hidup dalam khayalan?”, Kriwil memandang Ucrit yang masih menatap langit-langit.
“Wil, untuk apa kau pertanyakan itu? Ini nyata. Lihat itu!”, Ucrit menoleh ke arah Kriwil, kemudian melempar pandangannya ke arah satu titik di depan mereka.
“Nyata? Tidak, Crit. Bagi mereka kita hanyalah khayalan. Hanya dia, kita, dan teras ini yang tau keadaan sebenarnya,” Kriwil memandang mata Ucrit yang berbinar.
“Sudahlah, jangan kau pikirkan mereka lagi. Bukankah mereka telah mencampakanmu di taman siang tadi? Untung ada dia yang mempertemukan kita, dan membawa kita ke sini,” Yang sedari tadi dipandang akhirnya menoleh, sorot mata mereka bertemu.
“Kau benar, Crit. Aku senang melihatnya menari-nari di teras. Jemarinya begitu lentik, kakinya lincah, irama lompatan-lompatan kecilnya indah, sepertinya dia tak pernah kehabisan semangat, atau dia mahir menyembunyikan kesedihan,” Senyum kembali merekah di bibir Kriwil. Rambutnya yang kriting itu sedikit tersibak oleh hembusan angin malam.
“Iya, apalagi ketika jemarinya membelai lembut tubuhku. Ah, geli, lembut, hangat, aku tak pernah mau jauh darinya,” Ucrit memejamkan mata, mengingat beberapa saat tadi dia dibelai dan dipeluk.
“Aku paling suka ketika dia menimangku di takupan telapak tangannya yang hangat, dan mengajakku bernyanyi, menari, bercerita, tertawa, menangis. Ah...aku merasa menjadi bagian dari hidupnya, dan dia bagian dari hidupku,” Mata Kriwil mulai berkaca-kaca, Kriwil tertunduk.
“Hidup? Apakah kita benar-benar hidup, Wil?”, Ucrit tiba-tiba menyandarkan kepalanya di pundak Kriwil.
“Apa maksudmu?”, Kriwil kaget, diangkatnya kepalanya.
“Ah, tidak. Tidak apa-apa. Ini akan menjadi malam pertama yang indah. Aku suka tariannya. Aku suka duduk di teras ini,” Ucrit menggelengkan kepalanya yang masih ambruk di pundak Kriwil.
“Teras ini. Tadi dia menyebut teras ini... em....”, Kriwil mengernyitkan dahi.
“Siblu”, Tangan Ucrit memainkan segerombolan rambut kriting Kriwil yang menjuntai di pipinya.

Udara dingin masih berkeliaran di sekitaran teras. Namun aku masih menari, bercinta. Di teras ini. Di depanku, Kriwil dan Ucrit sedang melambungkan angannya hingga menembus langit-langit dan melihat bintang dari dekat. Di belakangku, sebuah tembok berdiri kokoh. Rencanaku, sejak malam ini aku akan menghabiskan waktu bersama Kriwil dan Ucrit, di terasku yang bernama Siblu. Ini malam pertama. Akan aku tumpahkan seluruh rasaku pada dua sosok yang kupertemukan tadi. Jika biasanya aku hanya menari sendiri dalam sepi di teras Siblu ini, maka mulai malam ini akan ada yang kuajak menari, melihatku menari, bertepuk tangan, membaca bekas-bekas jejeak tarianku, bertukar pendapat, memberiku selamat, menemaniku kemana saja, dan menerimaku apa adanya.
Jemariku terasa dingin, kakiku lelah, punggungku ngilu hebat, mataku pun meredup. Kulihat Kriwil dan Ucrit masih menikmati khayalan mereka sembari tersenyum melihatku menari. Aku menghentikan tarian cintaku. Kemudian menggapai tangan-tangan mereka. Menimang dalam takupan tanganku. Membawanya pergi dari teras, menuju kasur empuk mereka. Kutinggalkan Siblu, kubiarkan dia istirahat, mendoakan lalu mengecup punggungnya.
Sudah lewat tengah malam. Kriwil dan Ucrit berdekapan di pelukanku. Malam ini, akan kuungkapkan seluruh rasaku. Kuceritakan kisahku, hingga mereka terlelap sama seperti Siblu. Ah...sekarang aku tak susah tidur gara-gara kebelet cerita, dan nampaknya Ucrit, Kriwil, dan Siblu, akan menikmati semua tarianku, aku tak perlu membuat pamflet atau iklan untuk pentasku, ada mereka, ini lebih baik daripada kuhancurkan dunia orang lain hanya untuk sebuah pentas yang tiada berarti. Ini duniaku. Dunia kami. Aku, Kriwil, Ucrit, dan Siblu.



Duniaku, 20-21 Desember 2012
Sepulang berkelana di sekaten

»»  READMORE...

Minggu, 16 Desember 2012

Ponari



Suara semakin berdengung. Berdengung. Berdengung. Kemudian berdenging. Menutupi semua pandanganku. Memenuhi semua indera perasaku. Herannya, indera perasaku justru menikmatinya, namun otakku memberontak. Jika kau dengar suara itu, coba rasakan. Rasakan, jangan bosan. Rasakan saja. Buka mata, pandangilah, maka kau akan melihat kehampaan, kosong, bukan warna putih, bukan bening, bukan mejikuhibuniu, bukan hitam atau abu-abu. Tidak ada definisi warna untuk itu. Suara itu lebih besar daripada bumi, lebih luas dari pada samudra, lebih tinggi dari pada puncak Mahameru. Suara itu lebih empuk dari tahu godhog, lebih keras daripada batu, lebih lembut dari pada krim susu, lebih kasar daripada jalan berbatu. Suara itu, masih berdengung.
Aku menyebutnya Ponari. Ya. Ponari. Bukan bocah kecil yang merengkuk di gendongan bapaknya dan asik mencelupkan sebuah batu ke dalam gelas – gelas yang mengantri. Bukan itu. Ponari, adalah sebuah pertanyaan, sekaligus jawaban. Ceritnya, dulu Ponari datang dari suatu tempat yang dapat dilihat tapi tak pernah dapat dijangkau. Entah dimana. Orang-orang hanya sebatas itu memberi penjelasan. Tanyakan saja pada bapak ibu gurumu, atau pada dosenmu, atau pada pak ustadz, pak kyai, bahkan pada dukun, orang pintar, sarjana, imuwan, semua pasti akan menggeleng dan berdecak dalam hati. Hanya ada beberapa orang saja yang tau tentang Ponari. Termasuk seorang kakek yang tinggal di sebuah gubuk pojok Desa Loren. Ini bukan Loren yang seorang mama dengan segala kefasihannya membuat pernyataan-pernyataan yang laris di kalangan pesimistis.
“Mbah, jika boleh saya bertanya”, aku sama seperti para pemuda itu, yang berbondong-bondong datang ke gubuk ini dengan telanjang kaki hanya untuk bertanya tentang Ponari. Dan entah darimana aku tau jalan menuju Desa Loren ini, padahal aku tinggal di pulau yang berbeda.
“Kamu sama seperti mereka. Ponari, bukan?”, kakek tua itu berdiri dari duduk silanya tepat di depanku bersimpuh. Kakinya yang kekar seakan mencengkeram lantai tanah yang dingin. Selembar kain yang menutupi betisnya menyibak, membiarkan aku bisa melihat otot-otot yang kokoh, seperti akar. Kain itu melilit pinggangnya dan setengah bagian terselampir di pundak kirinya. Hampir setengah dadanya yang bidang terlihat. Tubuhnya yang sudah lebih dari seratus taun itu masih tampah kuat. Hanya saja di setiap lekukan terlihat kecoklatan menghitam. Ya. Penuh daki.
“Iya, Mbah. Sudah dua puluh taun aku mendengarnya,” aku berkata pelan. Kutundukkan pandangannku yang sedari tadi mengamati wujudnya. Kupelintir ujung bajuku sendiri. Aku merasakan ketakutan, entah karena apa.
“Pulanglah,” kakek itu merunduk. Aku merasakan tangannya yang kekar itu menyentuh pundakku. Keringat dinginku mulai beraksi. Seolah ada sesuatu yang dingin melebihi es, mengguyur tubuhku. Aku menggigil.
“Kee...ke....kenaa..ap..appaa?”, suaraku parau, terbata. Tanganku memeluk kedua kakiku yang kutekuk. Aku meringkuk kedinginan. Sementara aku tidak melihat lagi kakek itu.
“Ponari sudah jadi milikmu, kau akan menemukannya sendiri”, suara kakek itu seperti menelusupi gendang telingaku. Menggelitik bulu-bulu halus di tengkukku. Aku merinding. Dan tiba-tiba semua menjadi putih. Aku tak melihat apa-apa. Aku geragapan mencari hidungku, aku berharap aku masih bisa bernafas dengan itu.
***
“Kau ini kenapa? Sudah beberapa hari ini aku tak mendengar kau menyanyi. Biasanya kau menghabiskan air kolah, sabun, odol, sambil menyanyi,” Sandi menepuk pipiku, mencubitnya, seperti sedang bermain dengan anak paud. Aku diam.
“Heiii, halooo?? Ada orang di dalam??”, Sandi kembali beraksi. Dia memencet hidungku, semakin pesek. Seperti sedang bertamu dan menunggu tuan rumah keluar dari pintu dan menjabat tangan dengan sedikit diguncangkan kemudian berpelukan layaknya upacara pelepasan rasa rindu. Aku tetap diam.
“Yah, suwung dah...”, perempuan berambut sebahu itu menundukkan kepala. Badannya yang ramping membelakangiku, bersandar di pohon rambutan tidak jauh dari tempatku duduk. Aku meliriknya dari sudut mata, aku tau dia sedang menangis. Sayangnya, dia tak tau kalau aku sedang lebih menangis daripada dia, hanya saja aku diam.
Angin malam kembali merasuki lapisan-lapisan bajuku. Bintang bermunculan, seperti sedang ada upacara tiup lilin di kegelapan, bintang itu satu persatu meredup dan terang. Aku menatap ke bawah, di hamparan luas kegelapan, di sana juga banyak bintang, yang berwarna-warni. Indah. Aku seperti sedang terbang di antara dua langit. Toh dulu, kata guruku, ada banyak lapisan langit. Mungkin sekarang aku sedang berada di kedua lapisan itu. Ops! Bukan aku, tapi kami. Ya, aku dan Sandi, perempuan yang kuajak kesini sore tadi dan selama tiga jam aku belum memulai pembicaraan dengannya. Hebatnya, dia begitu sabar, hanya menemaniku duduk diam di bawah pohon rambutan.
Bukit bintang. Orang-orang di sini menyebutnya bukit bintang. Mungkin karena di sini adalah tempat strategis untuk melihat bintang, bukan hanya bukitnya para bintang. Entahlah, aku sendiri tidka pernah mempermasalahkan namanya. Jangan kau kira pula ini bukit bintang yang tenar di kalangan pelaku drama percintaan di daerah Jogja. Bukan. Sama sekali. Di sana mungkin tak akan kau temukan pohon rambutan tempat kami berteduh ini. Karena ini bukan di sana. Ini adalah tempat dimana aku biasa mengajak Sandi, bersama teman-temannya, membuat kemah, membuat api unggun, menyeduh kopi diatas bara api, sesekali merangkai bunga rumput liar yang tumbuh semena-mena. Namun kali ini tak biasa, tak ada teman-teman Sandi, hanya aku dan Sandi.
“Ponari datang”, tiba-tiba mulutku mengeluarkan bunyi itu. Aku bahkan tak sadar bahwa otakku memerintahkan mulutku untuk berucap.
“Kau ini kenapa? Siapa Ponari? Sudah dua puluh sembilan kali kau mengucapkan itu”, Sandi sedikit berteriak di telingaku. Aku melihat tangannya yang kecil itu mengampit sebuah pensil dan mencoretkan garis kecil di atas buku catatan yang sedari tadi kuabaikan.
“Ponari datang. Aku tau. Aku tau. Ponari datang,” kata-kata itu bagaikan butiran kelereng yang tumpah dari toples. Menggelinding begitu saja, berhamburan. Sandi menatapku tajam. Sorotan matanya menembus korneaku, seperti ada sebuah jembatan di sana. Aku melihat sudut matanya menyempit, kemudian bulu matanya semakin lentik, ada sebuah cairan bening meluruh. Sandi menangis. Aku menyesal membuatnya menangis. Kututup mulutku dengan buku catatan.
“Aku percaya itu”, Sandi merengkuhku, meremas pundakku. Tangannya melingkar ke pinggangku. Wajahnya ambruk begitu saja di dadaku. Aku mencoba mengatur nafas, aku tak ingin dia tau bahwa degup jantungku  melonjak. Aku tak ingin mengganggu kenyamanannya dengan suara degup jantungku yang parau. Kubiarkan wajahnya merangsut di dadaku. Kubiarkan tangannya semakin erat melilit pinggangku.
Aku merasakan ada suatu kelembutan, melucuti seluruh rasaku, hingga aku merasa melayang lebih tinggi dan melihat bintang-bintang yang semakin indah. Nafasku kembali teratur. Aku mengusap lembut rambutnya. Kukecup. Aroma sampo kesukaannya, aku hafal itu. Wajahnya bangkit dari pelukanku. Menengadah. Kutatap kedua mata itu, mata yang seperti ada jembatan menuju ke mataku, mata yang mengeluarkan cairan bening, mata yang dipagari bulu lentik, mata yang selalu sabar menghadapiku.
***
Mentari baru saja bangun. Sedangkan aku sudah berada di sini, di tepi koridor. Di sampingku, Sandi. Sudah sekitar limabelas menit kami di sini, menunggu. Sebuah koper besar di depanku, sedangkan tas ransel memelukku dari belakang, Sandi membawa tas kecil berwarna kecoklatan, warna kesukaannya. Pagi itu, kami telah memutuskan untuk pergi.
“Hantaka! Hantaka!”, petugas berseragam itu meneriakan nama daerah yang kami tuju. Bis yang kami nanti sudah datang. Aku betulkan gendongan ranselku. Aku melirik Sandi yang tengah membenahi long dressnya. Ah, dia nampak begitu indah dengan busana itu. Ku ulurkan tanganku. Sandi tersenyum, menyambut tanganku dengan tangannya. Jemari kami saling berkait. Kulihat cincin bertuliskan nama kami, ada di jarinya. Cincin yang memiliki kembaran, kembaran itu tersemat di jariku. Aku sudah lupa kapan terakhir kali kami sehangat ini. Semenjak aku didatangi oleh Ponari, aku terlalu sering melupakan Sandi, istriku.
Bis Pahala Kencana yang kami tumpangi segera melaju. Menembus kabut tipis di sepanjang jalan. Aku menatap ke arah jendela, sedangkan Sandi merebahkan kepalanya di pundakku, nampaknya dia begitu merindukanku. Kaca jendela sedikit berembun. Membuat buram pandanganku. Nampak samar di luar sana tampak gundukan tanah yang tinggi, itu Bukit Bintang, tempatku menemukan Ponari secara utuh. Sandi memainkan jemariku ketika handphone berdering, itu pertanda bahwa aku lah yang ditugasi untuk membuka sms. “Hati-hati, eyang... Kami di sini pasti merindukan eyang”. Sms dari Minten, anak kami satu-satunya. Sandi tersenyum ke arahku, namun cairan bening kembali menghiasi sudut matanya. Ku peluk Sandi. Kubiarkan dia menumpahkan air matanya di dadaku.
Bis semakin kencang melaju, hampir terasa terbang, melewati jutaan jengkal tanah dan lautan. Di tepian jalan sana aku melihat gubuk kecil, gubuk milik kakek yang menyuruhku pulang beberapa tahun yang lalu. Kakek yang kukira bisa menjawab pertanyaanku tentang Ponari. Ya. Ponari, suara mendengung yang telah menutupi seluruh padanganku dan memenuhi semua indera perasaku. Ponari, yang membuat istriku kesepian karena aku mengabaikannya, entah berapa tahun. Ponari, yang telah menyebabkan aku dianggap gila oleh para tetangga. Ponari, kini sudah jinak, tidak lagi menutupi pandanganku dan memenuhi indera perasaku. Dan Ponarilah yang menyadarkanku, waktu itu di Bukit Bintang, bahwa aku memiliki istri yang selalu percaya padaku, meskipun semua orang menganggapku gila. Dan kini, aku pergi, bersamanya, ke tempat yang nyaman, aman, ke tempat asal mula lahirnya semua hal, termasuk ponari. Tempat yang bisa dilihat namun tak bisa dijangkau. Kecuali dengan bis ini.


                                                                                  Pendapa Tedjakusuma, 17 Desember 2012
»»  READMORE...

Sabtu, 15 Desember 2012

Ini Lebih Dari Itu

Malam baru akan dimulai. Piring, sendok, gelas, dan semua peralatan makan malam sudah dirapikan setelah dicuci dengan sabut kelapa berlumur abu gosok. Meskipun hanya piring blek tiga biji, sendok berwarna kusam dengan ukiran kecil di ujungnya, tiga pula jumlahnya, gelas bening yang sudah kecoklatan di bagian dasar dan pinggirnya, jumlahnya dua, dan sebuah gelas yang lebih besar dipenuhi semacam relief lonjong, mereka menyebutnya gelas cap jempol. Semua sudah tertata rapi di atas dipan kecil pojok ruangan.
Rembulan belum sepenuhnya membuka wajah. Hembusan angin malam membelai daun pisang di pelataran, bergoyang, mempermainkan pandangan rembulan yang tengah mengintip setiap rumah di Desa Bendrowo. Hanya rumah-rumah yang memiliki beberapa genting transparan saja yang bisa diintip oleh rembulan. Dan juga satu-satunya rumah di desa itu yang masih lengkap dengan gedhegnya, rembulan bisa mengintip melalui celah anyaman gedheg itu, semacam bleketepe. Setiap malam, rembulan menyimak baik-baik semua suara yang terdengar dan semua gerakan yang terlihat, detail, seperti sedang menonton sinetron yang lebih panjang episodnya daripada Tersanjung.
“Pak, apa tidak sebaiknya kita pinjam uang dulu ke Yu Dah?”
“Untuk?”
“Apa lagi kalau bukan Si Bejo?”
“Sudah berapa kali aku katakan, Bejo tidak butuh itu.”
Dua purnama telah berlalu. Hanya percakapan itu yang terdengar. Tidak ada permulaan yang jelas, apalagi akhirannya. Selalu diakhiri dengan “Bejo tidak butuh itu”, kemudian rumah itu berubah menjadi semacam rumah mati. Sepi. Tanpa percakapan lagi. Hanya beberapa desahan di tengah tidur. Hingga pagi. Hingga rembulan memindahkan chanel ke sinetron yang lain, dan kembali ke chanel ini di malam hari.
Begitulah Desa Bendrowo. Sebuah desa kecil di tepian Kali Grogol. Sudah beberapa hari ini Emak tampak memiliki kantung mata yang lebih besar, seperti ibu kangguru yang tengah memanjakan anaknya. Bukan lantaran sedang bertengkar dengan sang suami, tetapi setiap kali matanya terpejam dalam kantuk, Emak selalu bermimpi hal yang sama setiap malam. Mimpi tentang percakapan itu. Ya, percakapan yang didengar oleh rembulan.
***
“Mak, pokoknya Bejo nyuwun dhuwit!”
Le, Mak sudah mintakan ke Bapak. Belum diparingi.”
 “Mak, Bejo sudah kelas tiga. Romlah, Gustan, Jibron, Dahlan, Totong, semua sudah punya. Bu Guru bilang, pelajaran besok sudah tidak butuh yang seperti ini. Besok sudah beda pelajarannya, Mak.”
“Lalu?”
“Ah, Emak dulu tidak sekolah, mana paham!”
“Jelaskan saja pada Bapakmu, Bapak pasti bisa lebih paham daripada Emak. Sekarang berangkatlah dulu, nanti telat.”
Emoh sekolah!”
Baju putih yang baru saja disetrika itu dihempaskannya ke meja. Iker-ikernya tampak mengelupas kehitaman karena terlalu lama ditindih dengan mawa, menutupi celana merah yang sudah terlebih dahulu selesai disetrika. Perempuan itu menggelengkan kepala. Sudah bukan sekali ini saja Bejo seperti itu. Dengan bujukan ini itu Bejo dengan terpaksa melangkahkan kaki menyeberangi Kali Grogol menuju ke sekolahnya yang baru.
Semenjak Pak Lurah memutuskan untuk menindaklanjuti surat permohonan penggabungan sekolah itu, Bejo menjadi seperti ini. Sekolah Bejo, SD Bendrowo, satu – satunya SD yang ada di desa itu, digabungkan dengan SD Wuruwetu. Alasannya cuma satu, SD Bendrowo “kehabisan” murid. Hingga akhirnya SD Bendrowo diubah menjadi pabrik tahu, dan semua muridnya dipindahkan ke SD Wuruwetu, di seberang Kali Grogol.
Sebenarnya pada mulanya Pak Lurah sudah diingatkan oleh semua warga untuk tidak menerima permohonan penggabungan sekolah itu. Bagaimana tidak, SD Wuruwetu setiap tahun ajaran pasti masuk koran, bukan karena prestasi gemilang, tetapi karena tawuran, semacam anak SMU di Jakarta. Meskipun memang SD Wuruwetu menyediakan fasilitas yang lebih memadahi daripada SD Bendrowo, pengajarannya pun berbeda, lebih “kota” daripada SD Bendrowo. Entah bagaimana ceritanya SD itu terkenal karena fasilitasnya yang lengkap dengan biaya relatif murah, sekaligus terkenal karena ulah muridnya yang sepadan dengan anak SMU.
“Sudahlah, Pak. Untuk apa mempertahankan SD Bendrowo? Itu bekas Sekolah Rakyat, guru-gurunya pun hanya penduduk yang suka rela menyumbangkan pikiran dan tenaganya yang kebetulan lebih banyak tahu daripada penduduk pada umumnya. Lihatlah, muridnya kini setiap kelas rata-rata tinggal empat sampai enam anak. Bukankah akan lebih ngirit jika digabung saja dengan SD Wuruwetu yang jelas-jelas sudah lebih mapan? Guru-gurunya nanti bisa kolaborasi mengajar di kelas, dijamin tidak ada yang nganggur. Muridnya pun bisa bergaul dengan masyarakat yang lebih luas, lebih beragam, tidak berkutat dengan lingkup desa ini saja. Apalagi SD Wuruwetu sekarang sedang dalam proses pemasangan internet masuk desa, pastilah itu mendukung pengembangan siswa didik. Bukankah begitu, Pak?”, Demikian Pak Redjo, kepala sekolah SD Wuruwetu, membujuk Pak Lurah yang tidak lain adalah penanggung jawab SD Bendrowo.
Pak Lurah seperti diberondong bujukan Pak Redjo, apalagi ditambah dengan usulan konsep usaha untuk mengubah SD Bendrowo menjadi pabrik tahu yang bisa meningkatkan pendapatan warganya. Diadakanlah musyawarah dengan warga. Dengan segala keuntungan yang bisa diraih, baik untuk murid, orang tua, guru, maupun warga yang sudah tidak menyekolahkan anaknya lagi. Warga pun luluh dan menyetujui penggabungan sekolah itu.
“Lurah macam apa itu? Masih mending aku tidak mengumpatnya. Aku memang tidak berpendidikan,  goblog, tidak tahu apa-apa, tapi aku tahu mana kepentingan, kebutuhan, dan keinginan. Menukar moral dengan semua itu, yang hanya membanggakan diri karena lebih menjanjikan masa depan, itu katanya, entah buktinya.”
“Kita bisa berbuat apa, Pak? Lha wong cuma warga biasa. Aku ingin setidaknya Bejo dapat lebih lama bersekolah dibanding kita dulu, lulus SD, syukur-syukur bisa ke SMP atau SMU.”
“Aku tidak melarang Bejo bersekolah di SD Wuruwetu. Tapi, satu syarat, aku tidak akan memenuhi permintaan Bejo.”
“Pak, bukankah itu sepele. Kasihan Bejo, cuma dia yang belum punya. Teman-temannya yang dari sini pun sudah punya itu, kemarin aku lihat Yu Dah membelikan itu buat Gustan. Kalau belum ada uang, kita bisa pinjam dulu. Tapi bukankah itu tidak mahal, Pak?”
“Kalau aku ijinkan, kita tidak perlu pinjam uang. Pesanan legen sedang laris manis. Tapi bukan itu masalahnya.”
“Anak satu, mau maju saja kok dipersulit.”
“Mau maju? Dipersulit? Aku lebih senang Bejo yang dulu, sebelum pindah ke sekolah itu.”
“Itu karena Bapak tidak menuruti permintaannya, itu sebabnya Bejo sering marah-marah, bolos sekolah, mbangkang.
“Kau pikir aku tidak tahu seperti apa teman-teman baru Bejo? Lihat Gustan, anak Yu Dah, sudah dituruti kemauannya pun masih sering bertingkah begitu. Romlah, Jibron, Dahlan, Totong, semua pun sama. Baru tiga bulan mereka pindah ke sekolah itu. Tapi apa hasilnya? Memang mereka menjadi lebih pandai, lebih banyak tahu, tapi sikap mereka nol besar. Bu Rumyati, guru dari SD Bendrowo yang katanya bisa mengajar di Wuruwetu, nyatanya kini goyang kaki di rumah sambil menjaga warung. Pak Puguh pun begitu, sekarang malah sibuk dengan pabrik tahu.”
“Bapak dendam?”
“Tidak. Beginilah, aku cuma bisa bicara di belakang. Bicara di depan, toh tidak ada yang mempedulikan, hanya orang kampung tak berpendidikan. Dulu tidak dididik untuk makan bangku sekolah, itu nggragas.”
Ya wis, sekarang makan dulu saja, Bejo sudah pulang.”
“Katakan pada anak itu, mulai besok pagi kalau masih kluyuran sampai maghrib, tidak akan ada jatah sangu. Kemarin Pak Hj. Rosidi lapor, Bejo sudah seminggu tidak berangkat ngaji.
***

Hari berganti hari, masuk dalam hitungan minggu dan bulan. Musim ulangan umum hampir tiba. Dimana-mana dipasang tulisan “jam belajar masyarakat 19.00-21.00”, di setiap tikungan, di samping jembatan, di pojok kantor kelurahan, di depan masjid, di bawah pohon pinggir jalan, bahkan di depan warung. Seperti sedang latah, tulisan itu tiba-tiba saja subur seperti jamur, tumbuh di satu tempat maka akan tumbuh juga di tempat lain, hingga cuaca berubah dan musnah begitu saja.
Matahari baru saja pergi, Bejo pun baru saja pulang dari surau. Sarung kusut yang sudah dijahit berulang kali di bagian pinggirnya itu digantungkannya di belakang pintu. Peci kecoklatan pemberian Bapaknya ketika ulang tahun ke tujuh itu diletakan di samping tumpukan bukunya. Ada sebuah Iqra’ menyelip di bagian atas peci itu, seperti kebiasaan para bapak yang berangkat tahlilan dan membawa buku tahlil kecil diselipkan dalam peci. Di samping tumpukan buku itu ada bumbung kecil yang dipenuhi dengan pensil kayu lengkap dengan karet penghapus kecil di bagian atasnya, ada beberapa yang karet penghapusnya sudah aus lantas diikat karet gelang yang menghitam bagian luarnya karena digunakan untuk menghapus. Bejo menghitungnya, sepuluh pensil. Tanpa ganti baju, Bejo menghampiri Emaknya di dapur sedang menyiapkan makan malam. Sudah beberapa minggu ini Bejo tidak lagi memberontak.
“Mak, minggu depan THB”
“Sinau, Le.”
“Tapi kapan Bejo beli pulpen, Mak? Cuma Bejo yang belum punya.”
“Pakai petelot dulu, Le. Bapak bilang, besok kalau kamu sudah paham, kamu bisa beli apa saja yang kamu mau, bukan cuma pulpen, mesin tik atau komputer seperti yang ada di kantor kelurahan pun bisa.”
“Mak, kapan Bejo paham? Malahan Bejo tidak tahu harus memahami apa.”
Petelot yang Bapak beri, sudah dihitung?”
“Sepuluh.”
“Bukan jumlahnya, Le. Coba nanti diperhatikan lagi. Kenapa Bapakmu setiap bulan selalu membelikanmu petelot, padahal Bapak bisa saja membelikan pulpen seperti yang kamu minta sejak pertama kali pindah ke sekolah yang baru. Bapak tidak bermaksud membuatmu ketinggalan pelajaran, buktinya nilai-nilaimu tetap baik, malah kadang lebih baik daripada teman-temanmu yang punya pulpen. Asalkan kamu ingat kata bapak, ini lebih dari itu. Pahami perbedaan petelot dan pulpen. Sekarang bantu Emak menyiapkan makan, sebentar lagi bapakmu pulang.”
***
Rembulan hampir sempurna membuka wajah, entah purnama yang keberapa. Udara dingin menggigit seluruh tulang. Suara aliran Kali Grogol terdengar seperti backsound tengah malam bersama dendangan pepohonan bercinta dengan sang bayu. Bejo bersembunyi di balik selimut jariknya. Liburan kenaikan kelas lima. Bejo masih belum bisa menjelaskan tentang mengapa Bapak belum membelikannya pulpen, sama seperti milik teman-temannya. Tahun depan adalah tahun terakhir Bejo duduk di bangku SD, Bejo ingin sebelum ujian kelulusan Bejo sudah memiliki pulpen. Pikirannya melayang jauh, masih terngiang kata-kata orang tuanya, pahami perbedaan pensil dan pulpen. Sulit untuk Bejo pahami, dulu ketika masih bersekolah di SD Bendrowo, tidak pernah orang tuanya memperlakukan begitu.
Sementara itu, Bapak dan Emak sudah terlelap merengkuh dalam jarik kawung. Terbuai dalam mimpi penuh hangat. Emak kini paham, Bapak tidak pelit, tapi itulah caranya mendidik Bejo, Bapak khawatir Bejo dimanjakan oleh segala iming-iming instan dan modern di Wuruwetu. Moral yang tergadaikan oleh segalanya. Ada rahasia yang mereka sembunyikan, segepok pensil dalam karung gandum, ditindih dibawah kasur. Yang hanya akan dibuka setiap awal bulan, dan berikan pada Bejo satu batang. Seperti hanya berpindah tempat saja, di kamar Bejo, bumbung tempat pensil itu sudah ada enam buah. Semua berjajar di samping tumpukan buku, berbaris rapi di depan sebuah piala kecil bertuliskan “Siswa Teladan tingkat Kabupaten”.  Rembulan tersenyum, mengintip ketenangan, entah sampai kapan dia akan menikmati episod yang tak pernah selesai itu.


(Naskah Lomba Cerpen Himpunan Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNY - 2012)
»»  READMORE...

Rabu, 28 November 2012

Saa, Sudah Mati

Asa masih saja menatap layar itu, meskipun entah berapa ratus kali jemarinya menekan tut paling pojok dan kemudian enter. Hanya itu yang dilakukannya. Bola matanya terpaku pada satu titik. Seolah tangan kanannya sudah hafal denah keyboard komputer usang, dia hanya mempekerjakan jari jempol dan jari telunjuknya untuk memencet del kemudian enter, del – enter, del – enter, del – enter, begitu seterusnya. Satu kedipan, berarti sepuluh kali del – enter. Sedangkan tangan kirinya menyangga dagunya yang kecil mungil melengkapi wajahnya yang bulat dan berkulit hitam. Kedua alis matanya yang tebal mengernyit ketika jari telunjuknya beraksi, kemudian berjungkit ketika sang jempol menghentak tut enter. Selalu begitu. Sorot matanya pun berirama demikian. Menyorotkan suatu keheranan dan rasa penasaran yang tinggi. Hanya saja, bibirnya tersenyum manis, meskipun tak pernah ada yang memuji kecantikannya yang memang alakadarnya. Ya setidaknya senyum itu cukup manis untuk seorang Asa – ketika sendirian. Sungguh ekspresi yang tak mudah untuk ditelaah.

Jarum panjang menunjuk angka lima, sedangkan jarum pendek di ambang antara sembilan dan sepuluh. Sudah hampir satu jam Asa duduk di kursi samping tempat tidurnya, di depan meja komputer pemberian ayahnya ketika ulang tahun ke-20 beberapa bulan yang lalu. Sesekali Asa menggoyang kaki, mengucek mata, menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sama sekali. Entah mengapa Asa begitu mementingkan pekerjaannya itu. Hanya memencet del kemudian enter. Mengapa tak ikut saja pergi bersama Sandi yang selalu menemaninya? Sandi, si pengirim folder yang kini memonopoli seluruh antusias Asa.
                                         
Satu jam. Dua jam. Tiga jam. Tengah siang, Asa masih saja berkutat dengan keasyikan yang tidak jelas. Memasuki jam keempat. Asa melupakan satu hal, pesan dokter beberapa hari yang lalu. “Kamu boleh duduk lama, paling lama satu jam. Jalan – jalan lah sebentar atau merebahlah, barang lima menit. Setelah itu boleh duduk lagi. Dan menaiki tangga tidak boleh lebih dari sepuluh anak tangga berturutan”. Braaaakkk!!! Asa menggebrak meja komputer itu sembari mencoba bangkit dari tempat duduknya. Kakinya memang sudah siap untuk menyangga tubuhnya, menapak pada lantai keramik coklat. Namun tidak dengan badannya. Mulutnya merintih. Tangan kanannya berpegang pada sudut komputer. Sedang tangan kirinya membungkam mulutnya sendiri, menahan tangis. Ada sebentuk rasa yang menghujam di sekujur tubuhnya. Dimulai dari mencengkeram punggung, menjalar menimpa ke pinggang, kemudian menghimpit diafragma dan rongga dada, nafasnya mulai tersengal, tenggorokannya tercekik. Badannya belum tegak betul, namun Asa tak kuasa lagi untuk bergerak. 

Keringat dingin mulai menghiasi tubuhnya. Wajahnya yang hitam memerah, dengan guratan urat leher yang semakin nampak. Matanya terpejam, menahan sakit yang membuatnya tak bisa bergerak pada posisi setengah duduk setengah berdiri. Dadanya semakin menyempit. Sementara otaknya masih saja dipenuhi dengan pekerjaannya tadi, memencet del dan enter. Di tengah kesakitan itu, diraihnya kabel yang masih tertancap pada stop kontak listrik di samping meja. Ketika tangan kirinya menggapai kabel, rasa sakit itu semakin menggerogotinya. Yang ada hanyalah bayangan sebentuk folder. Folder yang dia belai dengan del – enter.  Teringat dulu ketika Sandi mengirimkannya, dengan bingkisan kotak kecil berwarna biru. Entah bagaimana awal mulanya dulu Asa menerima kiriman itu. Dan dengan folder itulah Asa melanglang buana, mengeksplor segalanya, menulis apa pun yang ingin dia tulis, membaca apapun yang ingin dia baca. Setiap hari yang ada pada layar komputernya hanyalah folder itu. Asa mengolahnya dengan segala doa bahwa folder itu lah tempatnya menyusun dokumen – dokumen hingga menjadi sebentuk tangga menuju sebuah buku yang akan best-seller, difilmkan, dan membawanya pada persemayaman yang indah. Namun kini, entahlah. Semacam virus sudah menjajah hampir setiap dokumen dalam folder itu. 

“Sa, sudahlah, untuk apa kau melakukannya? Bukankah folder itu masih kau buka setiap kau ingin meluapkan segala uneg-unegmu? Ketika kau ingin mendengar alunan merdu dari satu-satunya mp3 yang bisa segalanya? Ketika kau bosan dengan rutinitas dan mengedit foto-foto itu? Ketika kau menarikan jemarimu seirama suara hatimu? Sudahlah, Sa...” 

“Tidak! Folder itu sudah rusak!!”
“Tapi, Sa... Lihatlah, nyatanya folder itu tak bisa lenyap dari Recycle bin. Hanya berpindah dari My Document ke Recycle bin, kemudian otomatis terRestore. Benar begitu kan? Nyatanya itu tak bisa hilang, Sa.. Itu berarti kau masih...”

“Stop! Aku lelah dengan semuanya! Justru itu yang membuatku lelah, mengapa folder itu tak bisa hilang. Menghapusnya, membuatku lupa, dan sekarang aku menjadi pesakitan tak bisa bergerak seperti ini. Puas kau!”

“Sa, dengarkan aku. Sisi positif tetap ada, tanpa virus, janganlah menjudge semacam itu.”

“Tau apa kau?! Hal yang positif di folder itu, memang ada, memang aku butuh, tapi jika aku turuti itu maka sama saja aku menshare semuanya, dan membuat orang lain jatuh pada pesakitan yang sama. Bukankah dengan begitu aku jahat??! Aku jahat kan?? Kau senang aku menjadi penjahat?”

“Sssstt....jadi kau menyiksa dirimu duduk berjam-jam hingga seperti ini hanya untuk menghapus satu folder itu agar tak menyebar pesakitan? Mungkin lebih baik kau pilih file – file nya dahulu, jangan kau hapus selu....”

“Diaaammm!!!”

“Saa...!!”

Asa menarik kabel itu, terlepas dari stop kontak. Layar komputer mengedip, menghitam, padam, mengedip lagi, menghitam lagi. Kemudian muncul wallpaper yang belum sempat dia ganti, siluet dua wajah, dengan hias tepi berupa lengkungan tulang belakang Asa yang sudah ditanami batangan logam agar tak menghimpit paru – parunya. Muncul tulisan “Saa”. Clap! Sudah mati. Bersenyawa dengan Zombie.



suatu tempat, suatu saat
Syifa

»»  READMORE...