Malam baru akan
dimulai. Piring, sendok, gelas, dan semua peralatan makan malam sudah dirapikan
setelah dicuci dengan sabut kelapa berlumur abu gosok. Meskipun hanya piring blek tiga biji, sendok berwarna kusam
dengan ukiran kecil di ujungnya, tiga pula jumlahnya, gelas bening yang sudah
kecoklatan di bagian dasar dan pinggirnya, jumlahnya dua, dan sebuah gelas yang
lebih besar dipenuhi semacam relief lonjong, mereka menyebutnya gelas cap
jempol. Semua sudah tertata rapi di
atas dipan kecil pojok ruangan.
Rembulan belum
sepenuhnya membuka wajah. Hembusan angin malam membelai daun pisang di
pelataran, bergoyang, mempermainkan pandangan rembulan yang tengah mengintip
setiap rumah di Desa Bendrowo. Hanya rumah-rumah yang memiliki beberapa genting
transparan saja yang bisa diintip oleh rembulan. Dan juga satu-satunya rumah di
desa itu yang masih lengkap dengan gedhegnya,
rembulan bisa mengintip melalui celah anyaman gedheg itu, semacam bleketepe.
Setiap malam, rembulan menyimak baik-baik semua suara yang terdengar dan semua
gerakan yang terlihat, detail, seperti sedang menonton sinetron yang lebih
panjang episodnya daripada Tersanjung.
“Pak, apa tidak
sebaiknya kita pinjam uang dulu ke Yu Dah?”
“Untuk?”
“Apa lagi kalau bukan
Si Bejo?”
“Sudah berapa kali aku
katakan, Bejo tidak butuh itu.”
Dua purnama telah
berlalu. Hanya percakapan itu yang terdengar. Tidak ada permulaan yang jelas,
apalagi akhirannya. Selalu diakhiri dengan “Bejo tidak butuh itu”, kemudian
rumah itu berubah menjadi semacam rumah mati. Sepi. Tanpa percakapan lagi.
Hanya beberapa desahan di tengah tidur. Hingga pagi. Hingga rembulan
memindahkan chanel ke sinetron yang
lain, dan kembali ke chanel ini di
malam hari.
Begitulah Desa
Bendrowo. Sebuah desa kecil di tepian Kali Grogol. Sudah beberapa hari ini Emak
tampak memiliki kantung mata yang lebih besar, seperti ibu kangguru yang tengah
memanjakan anaknya. Bukan lantaran sedang bertengkar dengan sang suami, tetapi
setiap kali matanya terpejam dalam kantuk, Emak selalu bermimpi hal yang sama
setiap malam. Mimpi tentang percakapan itu. Ya, percakapan yang didengar oleh
rembulan.
***
“Mak, pokoknya Bejo nyuwun dhuwit!”
“Le, Mak sudah mintakan ke Bapak. Belum diparingi.”
“Mak, Bejo sudah kelas tiga. Romlah, Gustan,
Jibron, Dahlan, Totong, semua sudah punya. Bu Guru bilang, pelajaran besok
sudah tidak butuh yang seperti ini. Besok sudah beda pelajarannya, Mak.”
“Lalu?”
“Ah, Emak dulu tidak sekolah,
mana paham!”
“Jelaskan saja pada
Bapakmu, Bapak pasti bisa lebih paham daripada Emak. Sekarang berangkatlah
dulu, nanti telat.”
“Emoh sekolah!”
Baju putih yang baru
saja disetrika itu dihempaskannya ke meja. Iker-ikernya
tampak mengelupas kehitaman karena terlalu lama ditindih dengan mawa, menutupi celana merah yang sudah
terlebih dahulu selesai disetrika. Perempuan itu menggelengkan kepala. Sudah
bukan sekali ini saja Bejo seperti itu. Dengan bujukan ini itu Bejo dengan
terpaksa melangkahkan kaki menyeberangi Kali Grogol menuju ke sekolahnya yang
baru.
Semenjak Pak Lurah
memutuskan untuk menindaklanjuti surat permohonan penggabungan sekolah itu,
Bejo menjadi seperti ini. Sekolah Bejo, SD Bendrowo, satu – satunya SD yang ada
di desa itu, digabungkan dengan SD Wuruwetu. Alasannya cuma satu, SD Bendrowo
“kehabisan” murid. Hingga akhirnya SD Bendrowo diubah menjadi pabrik tahu, dan
semua muridnya dipindahkan ke SD Wuruwetu, di seberang Kali Grogol.
Sebenarnya pada mulanya
Pak Lurah sudah diingatkan oleh semua warga untuk tidak menerima permohonan
penggabungan sekolah itu. Bagaimana tidak, SD Wuruwetu setiap tahun ajaran
pasti masuk koran, bukan karena prestasi gemilang, tetapi karena tawuran,
semacam anak SMU di Jakarta. Meskipun memang SD Wuruwetu menyediakan fasilitas
yang lebih memadahi daripada SD Bendrowo, pengajarannya pun berbeda, lebih
“kota” daripada SD Bendrowo. Entah bagaimana ceritanya SD itu terkenal karena
fasilitasnya yang lengkap dengan biaya relatif murah, sekaligus terkenal karena
ulah muridnya yang sepadan dengan anak SMU.
“Sudahlah, Pak. Untuk
apa mempertahankan SD Bendrowo? Itu bekas Sekolah Rakyat, guru-gurunya pun
hanya penduduk yang suka rela menyumbangkan pikiran dan tenaganya yang
kebetulan lebih banyak tahu daripada penduduk pada umumnya. Lihatlah, muridnya
kini setiap kelas rata-rata tinggal empat sampai enam anak. Bukankah akan lebih
ngirit jika digabung saja dengan SD
Wuruwetu yang jelas-jelas sudah lebih mapan? Guru-gurunya nanti bisa kolaborasi
mengajar di kelas, dijamin tidak ada yang nganggur. Muridnya pun bisa bergaul
dengan masyarakat yang lebih luas, lebih beragam, tidak berkutat dengan lingkup
desa ini saja. Apalagi SD Wuruwetu sekarang sedang dalam proses pemasangan
internet masuk desa, pastilah itu mendukung pengembangan siswa didik. Bukankah begitu,
Pak?”, Demikian Pak Redjo, kepala sekolah SD Wuruwetu, membujuk Pak Lurah yang
tidak lain adalah penanggung jawab SD Bendrowo.
Pak Lurah seperti
diberondong bujukan Pak Redjo, apalagi ditambah dengan usulan konsep usaha
untuk mengubah SD Bendrowo menjadi pabrik tahu yang bisa meningkatkan pendapatan
warganya. Diadakanlah musyawarah dengan warga. Dengan segala keuntungan yang
bisa diraih, baik untuk murid, orang tua, guru, maupun warga yang sudah tidak
menyekolahkan anaknya lagi. Warga pun luluh dan menyetujui penggabungan sekolah
itu.
“Lurah macam apa itu?
Masih mending aku tidak mengumpatnya. Aku memang tidak berpendidikan, goblog, tidak
tahu apa-apa, tapi aku tahu mana kepentingan, kebutuhan, dan keinginan. Menukar
moral dengan semua itu, yang hanya membanggakan diri karena lebih menjanjikan
masa depan, itu katanya, entah buktinya.”
“Kita bisa berbuat apa,
Pak? Lha wong cuma warga biasa. Aku
ingin setidaknya Bejo dapat lebih lama bersekolah dibanding kita dulu, lulus
SD, syukur-syukur bisa ke SMP atau SMU.”
“Aku tidak melarang Bejo
bersekolah di SD Wuruwetu. Tapi, satu syarat, aku tidak akan memenuhi
permintaan Bejo.”
“Pak, bukankah itu
sepele. Kasihan Bejo, cuma dia yang belum punya. Teman-temannya yang dari sini
pun sudah punya itu, kemarin aku lihat Yu Dah membelikan itu buat Gustan. Kalau
belum ada uang, kita bisa pinjam dulu. Tapi bukankah itu tidak mahal, Pak?”
“Kalau aku ijinkan,
kita tidak perlu pinjam uang. Pesanan legen
sedang laris manis. Tapi bukan itu masalahnya.”
“Anak satu, mau maju
saja kok dipersulit.”
“Mau maju? Dipersulit?
Aku lebih senang Bejo yang dulu, sebelum pindah ke sekolah itu.”
“Itu karena Bapak tidak
menuruti permintaannya, itu sebabnya Bejo sering marah-marah, bolos sekolah, mbangkang.”
“Kau pikir aku tidak
tahu seperti apa teman-teman baru Bejo? Lihat Gustan, anak Yu Dah, sudah
dituruti kemauannya pun masih sering bertingkah begitu. Romlah, Jibron, Dahlan,
Totong, semua pun sama. Baru tiga bulan mereka pindah ke sekolah itu. Tapi apa
hasilnya? Memang mereka menjadi lebih pandai, lebih banyak tahu, tapi sikap
mereka nol besar. Bu Rumyati, guru dari SD Bendrowo yang katanya bisa mengajar
di Wuruwetu, nyatanya kini goyang kaki di rumah sambil menjaga warung. Pak
Puguh pun begitu, sekarang malah sibuk dengan pabrik tahu.”
“Bapak dendam?”
“Tidak. Beginilah, aku cuma
bisa bicara di belakang. Bicara di depan, toh tidak ada yang mempedulikan,
hanya orang kampung tak berpendidikan. Dulu tidak dididik untuk makan bangku
sekolah, itu nggragas.”
“Ya wis, sekarang makan dulu saja, Bejo sudah pulang.”
“Katakan pada anak itu,
mulai besok pagi kalau masih kluyuran sampai maghrib, tidak akan ada jatah sangu. Kemarin Pak Hj. Rosidi lapor,
Bejo sudah seminggu tidak berangkat ngaji.”
***
Hari berganti hari,
masuk dalam hitungan minggu dan bulan. Musim ulangan umum hampir tiba.
Dimana-mana dipasang tulisan “jam belajar masyarakat 19.00-21.00”, di setiap
tikungan, di samping jembatan, di pojok kantor kelurahan, di depan masjid, di
bawah pohon pinggir jalan, bahkan di depan warung. Seperti sedang latah,
tulisan itu tiba-tiba saja subur seperti jamur, tumbuh di satu tempat maka akan
tumbuh juga di tempat lain, hingga cuaca berubah dan musnah begitu saja.
Matahari baru saja
pergi, Bejo pun baru saja pulang dari surau. Sarung kusut yang sudah dijahit
berulang kali di bagian pinggirnya itu digantungkannya di belakang pintu. Peci
kecoklatan pemberian Bapaknya ketika ulang tahun ke tujuh itu diletakan di
samping tumpukan bukunya. Ada sebuah Iqra’ menyelip di bagian atas peci itu, seperti kebiasaan para bapak
yang berangkat tahlilan dan membawa buku tahlil kecil diselipkan dalam peci. Di samping tumpukan buku itu ada bumbung kecil yang dipenuhi dengan
pensil kayu lengkap dengan karet penghapus kecil di bagian atasnya, ada
beberapa yang karet penghapusnya sudah aus lantas diikat karet gelang yang
menghitam bagian luarnya karena digunakan untuk menghapus. Bejo menghitungnya,
sepuluh pensil. Tanpa ganti baju, Bejo menghampiri Emaknya di dapur sedang
menyiapkan makan malam. Sudah beberapa minggu ini Bejo tidak lagi memberontak.
“Mak, minggu depan THB”
“Sinau, Le.”
“Tapi kapan Bejo beli pulpen,
Mak? Cuma Bejo yang belum punya.”
“Pakai petelot dulu, Le. Bapak bilang, besok
kalau kamu sudah paham, kamu bisa beli apa saja yang kamu mau, bukan cuma
pulpen, mesin tik atau komputer seperti yang ada di kantor kelurahan pun bisa.”
“Mak, kapan Bejo paham?
Malahan Bejo tidak tahu harus memahami apa.”
“Petelot yang Bapak beri, sudah dihitung?”
“Sepuluh.”
“Bukan jumlahnya, Le. Coba
nanti diperhatikan lagi. Kenapa Bapakmu setiap bulan selalu membelikanmu petelot, padahal Bapak bisa saja
membelikan pulpen seperti yang kamu minta sejak pertama kali pindah ke sekolah
yang baru. Bapak tidak bermaksud membuatmu ketinggalan pelajaran, buktinya
nilai-nilaimu tetap baik, malah kadang lebih baik daripada teman-temanmu yang
punya pulpen. Asalkan kamu ingat kata bapak, ini lebih dari itu. Pahami
perbedaan petelot dan pulpen.
Sekarang bantu Emak menyiapkan makan, sebentar lagi bapakmu pulang.”
***
Rembulan hampir
sempurna membuka wajah, entah purnama yang keberapa. Udara dingin menggigit
seluruh tulang. Suara aliran Kali Grogol terdengar seperti backsound tengah malam bersama dendangan pepohonan bercinta dengan
sang bayu. Bejo bersembunyi di balik selimut jariknya. Liburan kenaikan kelas
lima. Bejo masih belum bisa menjelaskan tentang mengapa Bapak belum
membelikannya pulpen, sama seperti milik teman-temannya. Tahun depan adalah
tahun terakhir Bejo duduk di bangku SD, Bejo ingin sebelum ujian kelulusan Bejo
sudah memiliki pulpen. Pikirannya melayang jauh, masih terngiang kata-kata
orang tuanya, pahami perbedaan pensil dan pulpen. Sulit untuk Bejo pahami, dulu
ketika masih bersekolah di SD Bendrowo, tidak pernah orang tuanya memperlakukan
begitu.
Sementara itu, Bapak
dan Emak sudah terlelap merengkuh dalam jarik kawung. Terbuai dalam mimpi penuh
hangat. Emak kini paham, Bapak tidak pelit, tapi itulah caranya mendidik Bejo,
Bapak khawatir Bejo dimanjakan oleh segala iming-iming instan dan modern di
Wuruwetu. Moral yang tergadaikan oleh segalanya. Ada rahasia yang mereka
sembunyikan, segepok pensil dalam karung gandum, ditindih dibawah kasur. Yang
hanya akan dibuka setiap awal bulan, dan berikan pada Bejo satu batang. Seperti
hanya berpindah tempat saja, di kamar Bejo, bumbung
tempat pensil itu sudah ada enam buah. Semua berjajar di samping tumpukan buku,
berbaris rapi di depan sebuah piala kecil bertuliskan “Siswa Teladan tingkat
Kabupaten”. Rembulan tersenyum,
mengintip ketenangan, entah sampai kapan dia akan menikmati episod yang tak
pernah selesai itu.
(Naskah Lomba Cerpen Himpunan Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNY - 2012)