Kamis, 23 Desember 2010

Untukmu, rinduku,


akhwat (2).jpgKembali bertuliskan tentang sejimpit kerinduan dalam hati, yang semakin kuat aku rasakan. Satu rindu yang teramat panjang jalan ceritanya. Dia yang dahulu adalah yang mula-mulanya membersamaiku, yang menuntun aku, yang mengajariku ini itu, yang menghiburku saat aku sedih, yang mengenalkanku pada kesejatian cinta.

Sejuknya untaian perkataannya merajalela di pori-pori hatiku. Aku merindukannya...
Indahnya senyuman itu. Aku merindukannya...
Hangat jabatan tangannya. Aku merindukannya...
Aku merindukan segala tentangnya...

Rindu yang mengucur deras, sebenarnya telah lama aku rasakan. Semenjak aku berbelok arah, sedikit mengambil sudut atas ini dan itu. Semenjak aku terpana pada sebongkah ‘emas’ yang berhasil membuatku mengalah memalingkan wajah darinya. Semenjak terpaan angin doremifasol dari sang tetua keluarga terngiang kuat di telingaku. Semenjak saudaranya sepatu terkuliti dari kakiku. Semenjak pertemuan ujung dua kain segi empat itu tak lagi membuat aku terlambat kuliah.

Sejak itu, aku terjebak dalam persimpangan yang teramat aneh, hingga aku dan dia terpaut beratus-ratus kilometer. Tertutupi oleh beteng transparan yang tebal, terlihat namun tak dapat berkomunikasi. Aku memandanginya saja. Dia masih tersenyum padaku, namun tak seperti dulu. Aku mengintipnya. Dia melambaikan tangan ke arahku, namun tak seperti dulu. Aku mencoba menyapanya. Dia berbinar menyambutku dengan ceria, walau tetap tak seperti dulu.

Meskipun tak seindah dulu, aku tetap merindukannya. Dia begitu setia, saat aku mendua dengan yang lain dan lebih memperhatikan yang lain itu, dia tetap melambai mengajakku bersamanya. Mungkin dia pun masih tetap indah seperti dulu, dan bahkan malah lebih indah, hanya saja aku terlanjur merasa bersalah karena aku telah mendua.

Kesejukan bersamanya, masih teringat jelas. Aku merindukan kesejukan itu...
Kuharap aku akan menjumpainya esok pagi. Aku akan menghirup wewangian itu lagi. Aku akan merasakan kesejukan itu lagi. Apa mungkin esok lusa setelah pertemuan itu aku tetap bersamanya? Restu pun tak kudapat, dari sang bapak, pun dari sang ibu. Namun aku percaya, jika Allah merestui, maka semua akan terjadi.
Wahai kau yang ku rindu, maafkan atas sikapku yang menduakanmu..
Untukmu, rinduku,
Al Huda

Kos Ceria , 23 Des 2010
Rindha Rindhu
»»  READMORE...

Senin, 29 November 2010

Aku Mulai Merasakannya


Yang dulu hanya aku dengar dari ceritaan mereka-mereka yang mengalaminya, mereka duluan. Kini aku percaya bahwa itu benar adanya. Membuatku semakin merasa bersalah atas kematian sahabatku. Dulu aku terlalu mengacuhkan ceritaan mereka-mereka itu, hingga aku terlalu berbaik sangka terhadap apa yang dirasakan sahabatku.

Apa aku salah ya. Mempositifkan pikiranku, bahwa sahabatku pasti akan baik-baik saja, tidak akan seperti mereka-mereka yang bercerita menakut-nakutiku. Namun nyatanya, aku mengalami apa yang mereka alami. Allah membuktikan kebenaran cerita mereka. Sahabatku meninggal, sama seperti ceritaan mereka, yang dulu aku anggap terlalu lebai, dan aku tak mau menjadi penakut.

Sesak, memang sesak sekali rasanya. Ketika terlalu lelah tubuh ini menyongkong beban. Ketika tas punggungku seperti berpuluh-puluh kali lebih berat. Ketika lenganku memaksakandiri untuk menjinjing ember itu. Ketika adikku rewel dan aku mencupcupnya dengan menggendongnya jalan-jalan keliling rumah hingga tepian sawah tetangga. Ketika ketika ketika dan ketika yang lain.
Mungkin yang aku rasakan tidak lebih buruk dari apa yang dirasakan oleh mereka-mereka dan oleh almarhumah sahabatku sendiri. Memang derajatku belum begitu parah, atau entahlah aku juga belum pernah menanyakan pada dokter berapa derajatku, apakah tergolong ringan-sedang-atau berat. Aku belum pernah tahu tentang itu. Yang aku tahu hanyalah kurva tulang punggungku yang sepertinya punya nilai seni tinggi, lengkungan yang indah memang. Dua-tiga-atau empat tahun yang lalu atau berapa (tidak tahu pastinya) aku memilikinya, dan foto rongsen itu masih kusimpan. Aku tak membelinya dengan harga yang mahal. Aku mendapatkannya secara gratis. Aku diberi. Hadiah dari Allah. Hadiah terindah, disaat aku mencecap dunia SMA. Hadiah yang akan tetap kumiliki hingga aku mati kelak.

Aku tak mau mengatakan kepada teman-teman dan sahabatku tentang ini lagi. Cukup mereka tahu sebatas skoliosis yang aku punya. Tidak usahlah dijelaskan tentang gejala sesak nafas yang mulai kurasakan ini. Biarkan aku istirahat, mengumpulkan oksigen lagi, yang kadang susah kudapati ketika aku beraktifitas. Sering kuanalogikan pada merosotnya daya tangkap otakku, lantaran suplai oksigen ke otak mungkin sudah tak sebanyak dulu waktu aku kanak-kanak. Sudahlah. Aku hanya tak mampu membayangkan, seperti apa aku kelak ketika sudah berumah tangga, mampu kah aku, bertindak layaknya ibu rumah tangga yang banyak kerjaan mengurus rumah seisinya, sebagai istri yang senantiasa setia melayani suami, sebagai ibu dari anak-anakku yang mungkin tak akan membayar baby sitter untuk mengasuh mereka, apa aku mampu, dan bahkan jika kelak aku tinggal bersanding dengan mertua dimana aku yang memegang tanggung jawab mengurus mereka. Yah, aku harus mampu.... Harus Mampu.... Sakitku tak akan mengalahkanku.. Aku akan mengalahkan penyakitku.. Walau mungkin tanpa obat ataupun operasi. Aku yakin Allah selalu ada untukku... Allah pasti menunjukan kekuasaannya. Mungkin keajaiban yang aku alami.. J
»»  READMORE...

Selasa, 09 November 2010

Ati-ati, Pengrusuh


[Selasa, 9 November 2010]
Dhek mau bengi aku melu latian klonengan. Ya mumpungane aku prei, mumpungane aku nang ngomah. Biyasane aku nang kos, mulih mung pendhak kemis apa jemuah, mengko mbalik yoja meneh dina minggu, dadi ora tau bisa melu latian. Ya iki aku mangket sepisanan.

Grimis ora nggawe aku wegah menyat. Bar ngisakan, aku langsung menyang daleme mbah Marto. Mbah Marto kuwi ya isih sedulurku, prenahe, mbah Marto kuwi maratuwane pakdheku. Aku mangkat diterke masku.

“Kula nuwun...”. “Mangga...”. Mak-dheg!! Aku langsung dadi bingung dhewe. Ana ruang kono wis akeh uwong, wis mulai nabuh, mung kedadak liren jalaran aku teka. Aku kenal. Apa maneh sing lenggah ngarep dhewe, kuwi guruku, guru basa jerman dhek biyen aku pas SMA. Walah.....

Aku ditakoni werna-werna, nggo basa jerman. Eladalaaaaahh.....aku ora ngerti apa artine. Walah, Pak Keman ki.. L

Marang guruku kuwi, aku crita ngenani kuliahku. Anane mata kuliah kerawitan, mata kuliah tembang, lan liyane...akeh. Aku ya matur yen aku nang kono mung arep melu ngrusuhi, merga aku ngerti yen kuwi lagi padha gladhi resik nggo pentas sesuk awan. Awale aku dikon melu Gerongi. Ning aku ora wani, durung tau. Njuk malah dikon ngendhang, ya padha wae, aku durung wani. Akire aku nuthuk kenong, merga sing ditugasi nuthuk kenong malah ora rawuh.Oke.

Takkira kepenak yen mung nuthuk kenong. Jebul uangel....aku bingung. Lha lagi pisan kuwi krungu gendhinge. Wis kaya gendhing nek nang wayangan kae. Ana sing nembangi barang. Gek mengko isih ana  istilah “dhawahan”, “srapag enem”, “ngelik”, apa apa apa, mbuh. Akeh banget istilah-istilah asing. Aku durung kenal. Apa maneh aku ora duwe cathethan dhewe, mula kau barengan karo mbokdhe Ceplis sing nuthuk kethuk nang sandhingku. Sethithik aku bisa. Ning mengko yen gerongane wis muni, wis ana keplok-keplok, wis mawut mawut, aku kelangan ketukan, njuk bubrah, njuk thuthuke tak glethake, tak tinggal mimik teh karo maem cemplon. Hahaha J

Wengi kuwi aku sinau akeh banget.. Sing marakke aku mawut mawut. Ana Ladrang Gonjing Miring, Ladrang Wahyu, Manyura Sewu, Witing Klapa, Asmarandana apa....ngono, liyane aku lali, kuwi kabeh sing arep nggo pentas sesuk awan, minangka nyambut tamu seka dinas sing arep mbiji desa tawangsari. Hiya, dudu desa tawangsarine, ning padukuhan Garang, padukuhanku. Dusun Garang katut lolos lomba POSDAYA tingkat nasional.

Aku ora melu urun apa-apa. Malah aku ngrusuhi anggone padha latian. Ati-ati, pengrusuh.
Hehe

Aku mung urun tenaga, ewang-ewang nang pawon, motokopi cathethan gendhing, +++ sie dokumentasi. J
Muga Sukses!!!!
»»  READMORE...

Selasa, 05 Oktober 2010

Syawalan Swalayan


[05 Oktober 2010]
Pojokan cine club memang terasa dingin oleh syarafku, entah syaraf hati maupun syaraf ragaku. Yang kemudian menjadikan aku menyeruakan kata-kata yang mungkin tak semestinya aku katakan, walau hanya dalam hati. Hening. Batinku saja. Aku tak lagi mendengar alunan lagu yang mendayu-ndayu dari meja si mamacaca, karena rasanya aku ingin sekali marah pada telingaku.  Aku tak lagi mendengarkan cengkramaan yang ngalor ngidul ngetan ngulon di belakangku. Aku tak lagi memikirkan baju apa yang aku kenakan. Batik entah model apa, yang jelas banyak yang menyamainya.

Sekarang?

Si mamacaca sedang berdoremi ria di depan sana, entah tempat apa itu, aku tidak jelas sangat akan hal itu. Dulu pernah aku berkenalan, namun sekarang seakan melupakan teman barunya ini. Teman baru yang terlupakan, sayang sekali, ada ada saja predikat untuk seorang teman baru yang terlupakan ini. Aku? Mungkin, lantas sipa lagi. Sekarang apa lagi? Pembahasan tentang : “...kula dalah panjengan sedaya minangkan titah sawantah ingkang pinurba kawasesa dening Allah Subhanahuwata’ala ingkang murbeng dumadi bla bla bla...., mungkin tak seluruhnya kupahami arti per kata-nya. Aku mendapati rentetan huruf itu dari kang guru –harusnya kutulis : kangguru—. Fyuh...entah.

Tadi sudah dipergemakan oleh seorang ukhti. Hebat sekali ukhti itu, aku ingin berguru kepadanya, mengajariku berdendang nyaring macam itu. Itu tadi, tadi juga sudah ada sekelumit sambutan dari para tetua, intinya sama saja, ya itu itu saja, tak ada jimpitan perkataan yang nggreget.

Aku sendiri termangu dalam kesibukan memainkan pola pikir orang waras yang sedang menggila –sebut : pola pikir kesemrawutan, memberi mandat kepada kelima prajuritku untuk melompat-lompat sesuai pola pikir kesemrawutan tadi. Lamalama menjadi lama, lamalama aku memutuskan suatu hal –yang sebenarnya belum pernah jadian—, aku menidurkan si LC, lantas aku membersamai kakakatin yang sedang menimba ilmu di depan sana. Ya, aku akan menimba ilmu, dari sang inspirator.

Selanjutnya, selanjutnya, dan selanjutnya... Pembicara yang yah... bisa dikatakan dahsyat hiya, hebat hiya, keren hiya, kalem hiya, pendiam hiya, fyuhh...susah untuk digambarkan dengan kata kata. Intinya??? Maaf, tak ada istilah inti disini, ini bukan sel yang memiliki nukleous, hanya ada organela organela yang sama sekali tak jelas dimataku –walaupun sudah memakai kacamata— Tentang salamsalaman, tentang ramadhan yang menyandang gelar bulan pengupgrade iman, tentang segala sedekah – memaafkan, entah darimana beliau menghubungkan antara sedekah dengan memaafkan dan juga hubungannya dengan tema salamsalaman. Hebat sekali beliau ini. Beliau yang disebut oleh si mamacaca sebagai “raka mas”.

Setelah segala ilmu masuk dalam bebenakku, dan kemudian keluar lagi tanpa permisi, hanya meninggalkan sidik jari dan tapak kaki dalam buku catatan kecilku. Tanpa salam juga dia ngeluyur entah kemana, dan tak mau mengangkat telponku. Awalnya aku ingin mengajaknya untuk memainkan micropon, berlagak seperti sang pembicara tadi, dan menyampaikan sepenggal kata tanya yang mungkin akan menyerang balik pada diriku sendiri di depan teman-teman dan para dosen. Namun itu hanya bayanganku saja. Nyatanya tidak ada ruang untuk kami melancarkan bumerang itu. Jadi, tidak perlu untuk aku pikirkan lagi tentang hal itu, buang saja bumerang itu. Tidak akan melancarkan protes kepada si mamacaca yang tidak menggubris smsku yang menggelitik tentang pesanan ruang.

Tidak seperti dugaan awalku, adanya sepotong hiburan yang setidaknya berusaha menhibur diriku yang tak menentu suhunya ini, menghindari terjadinya pelapukan. Seperti bebatuan yang melapuk ketika perubahan suhu terlalu kontras, atau seperti gelas dingin yang disirami air mendidih dan kemudian meretakan diri. Ternyata ini adalah acara puncak dan kemudian akan disusul oleh acara topi, maksudku acara penutup. Ooohh...biasanya aku akan nyaman sekali berlama-lama disini, walau kondisinya tak sama seperti biasanya, walau memang sedang bersuhu tak menent, walau walau walau dan walau yang lain lain. Dan biasanya aku enggan sekali memakai topi, maksudku acara penutup. Tapi kali ini luar biasa.

“Aku ingin mencintaiMu, setelusnya sebenar benar aku cinta, dalam doa dalam ucapan dalam setiap langkahku. Aku ingin mendekatiMu selamanya, sehina apa pun diriku ......”. Maaf, bukan apa apa, itu penggalan lagu yang (saat ini) mengiringi jejemarianku menari nari diatas tubuh si LC. Aku suka sekali lagu itu. Apa lagi lagunya si Fika yang berjudul Doa Kalbu. Nyaman sekali mendengarnya. Tatkala juga hatiku yang sedang poyang payingan tak menentu ini mendapati setetes embun –terlalu sering berimajinasi aneh, penyakit gila nomor 571—.

Kembali pada bahasan awal. Hhmm..aku ingat, ketika tadi ada acara tambahan, mamacaca sebut itu salamsalaman. Unik memang istilahnya, salamsalaman. Ya, salamsalaman. Biar tiga gratis satu, aku tulis lagi, salamsalaman. Aku menjabattangani beberapa saudara dan saudariku yang entah aku telah berapa juta kali berdosa kepadanya, buku catatan dosaku aku titipkan pada malaikat rakib atid, aku berikan sajalah pada mereka, aku tak punya pulpen untuk mencatatnya, itu buku sepesial, tak bisa ditulisi dengan steadler, pilot, maupun snowman. Jabat tangan. !@#$%^&!@#$%^ (dianggap ada gambar jabat tangan).

“.......Adicara salajengipun inggih menika panutup. Saderengipun adicara menika kita tutup, ing mbok bilih anggenipun kula ndherekaken lampahing adicara ing siang menika kathah cicip cewet cicir kaduk cupeting nalar kiranging budi, labet kuthunging paramasastra, kula tansah mawantu wantu nyuwun lumebering sih samodra pangaksami........” kekalimatan itu masih terjiplak di memoar otakku, bekas waktu dulu itu pernah suatu kali aku berguru pada kangguru untuk memenuhi perintah atasan. Ya sekarang aku mendengarnya lagi, tapi tak kembar.

AC mati? Ya. Ooo. Baru aku sadari bahwa aku tak merasakan dinginnya belaian AC. Terlalunya aku dalam merasai dedinginan yang kadang beralih pada pepanasan dan kemudian kembali pada dedinginan lagi dan begitu seterusnya. Sepeti butuh semacam kondensator suhu yang menstabilkan suhu mesin kejiwaanku. Atau tetap pada belanjaanku siang ini di swalayan dedinginan.

Lotisan pelem, membuatku ingin pulang ke rumah orang tuaku..... Mamak..

Kamar kakakatin, 14 : 17

»»  READMORE...

Jumat, 01 Oktober 2010

serangan nyamuk


Senandung muhasabah cinta milik edcoustic membuatku sedikit termehek-mehek lantaran liriknya seperti mewakili apa yang tertulis dalam secirita kisah perjalanan hidupku. Mungkin agak berlebihan juga, namun memang semacam itulah aku, yang terkadang terlalu lama berpikir untuk menghubung-hubungkan segala sesuatu dengan apa yang ada dalam diri ini. Maaf jika ini pun terlalu berat mengartikannya, kekalimatan yang rusak.
Mati listrik (lagi).
Aku tak hanya diam saja, sibuk jemariku mengtiktaktiktak si LC (Lapine Cempluk). Entah apapun itu yang aku tulis. Seperti terhujani dardor meriam perang, aku ingat akan si cantik yang diceritakan mamakku tadi. Si cantik yang lemah gemulai. Mamakku dengan gegap gemita bercerita tentang kelembutannya. Cantik sekali, katanya. Cara dia berbicara, cara dia menyapa, cara dia mengambil kertas, cara dia memencet tombol itu, cara dia menutup alat itu, cara dia memberikan uang kembalia. Hah?? Ya, dia adalah tukang fotokopi di rumah sakit. Hehehe... Cantik sekali, kata mamak. Tak kalah dengan si cantik (yang lain) yang sering ku jadikan bahan pengolahan cerita dongeng di rumah sebagai oleh-oleh dari perantauan, kata mamak. Hei....apaan apaan apaan (nyebut 3 kali, garatis 1) apaan. Ternyata mamak belum tahu kalau aku pun sudah beberapa kali bertemu dengan si Cantik itu di rumah sakit ketika aku berurusan dengan mata ini, dan dia sudah hapal dengan aku. Ya, mamak telat... haha.
Hussss.....stop...sudah. Tak boleh ada penggelendhengan di sini.
Beranjak dari itu, aku mulai berpikir bagaimana caranya agar PLN tidak memadamkan listrik lagi. Hm,,,berandai andai menganalogikan sesuatu yang masih dalam pencarian. Sebaiknya apa yang akan aku pikirkan? Dalam keberpikiran ini, ditemani nyamuk-nyamuk yang rajin sekali menusuki kakiku. Andai saja lampu di atas sana nyala, pasti aku akan tau nyamuk yang mana yang akan menusuk kulitku, dan aku akan menghindar atau menghilangkan nyamuk itu. Tapi sayang, di sini gelap sekali, hanya ada cahaya dari layar si LC. Ya begitu lah hidup kita, tak henti-hentinya ada saja masalah-masalah yang datang dan pergi, seperti serangan nyamuk dalam kegelapan. Kita tak tau kapan ia datang, dan tiba-tiba pergi (dengan meninggalkan bekas). Belajarlah kita untuk mempelajarinya. Serangan itu adalah peringatan untuk kita agar kita menutupi tubuh kita, menutup aurat kita, (selimutan : red) agar berkuranglah masalah kita. Kalau kita sudah bersikap mengantisipasi adanya serangan masalah, maka Allah akan lebih melindungi kita. Apa masih mau berkata : belum siap? Ya itu alasanku dulu... hehe... Sssttt...jangan bilang bilang ya.
Yah.....selesai sudah keberpikiran ini, anggap saja sudah ketemu analoginya. Hubungan antara serangan nyamuk di kegelapan dengan berdatangannya masalah kehidupan.. Agak maksa sih, tapi biarlah, berpikir kan gratis dan nggak dilarang..


Jangan kau memancing serangan-serangan masalah dalam kehidupan seperti kau memancing serangan nyamuk. [Celetukan di pojok ruang keluarga, 01 Oktober 2010, 18 : 30]
»»  READMORE...

Rabu, 29 September 2010

Pertempuran Tanpa Musuh


Mengedap-ngedipkan mata, itu saja. Aku suka. Karena tak mungkin aku mengedap-ngedipkan mulut, walaupun gerakannya sejenis, namun itu namanya bukan mengedap-ngedipkan, tapi ‘mongap-mangap’.

Setelah seharian kuliah luntang-lantung lantaran ditinggal dosen –tanpa surat ijin tidak masuk kuliah / semacam kewajiban mahamurid— ,, kemudian dibersamai oleh dosen yang ekstra sabar tenang dan pantang menyerah –berbeda dengan dosen yang mengajar tadi pagi jam pertama— bersama adik-adik maba yang sebenarnya aku tak sopan juga jika memanggilnya ‘dik’, ‘mas’, ‘mbak’, atau sekedar nama, huh mereka membuatku dilemtot ( dilema total : red ) pasalnya mereka itu sepantaran dengan aku.

Oke tinggalkan mereka,, kemudian pergi pulang ke kos untuk mengangkat jemuran –maksudku bajuku yang dijemur, bukan jemuran baju yang diangkat— karena rerintikan hujan sempat sekelebat menghujam di rumah semut pojokan kosanku,, kemudian sebeeeeentaaaaarrrr bernafas lega istirahat  ngambruk di kamar kakakatin –padahal kemarin ada agenda rapat hari ini, tapi entahlah...—,, kemudian bersih diri dan bersiap bersenjata lengkap dengan segala atribut ketentuan dari atasan sana,, kemudian menuju kos kakakeka bersama kakakatin, eh enggak ding, kakakeka sudah terkondisikan di medan tempur bersama bundalin, kemudian aku dibersamai oleh kakakatin berjalan gegap gemita melalui jalan pintas yang sangat dahsyat karena jalan itu keren sekali (jangan bilang siapa-siapa, termasuk yang baca ini).

Oh ya, kami sedikit beralasan mengambil jalan pintas itu karena kami (maksudku : AKU) takut dengan guguk yang dibawa oleh mas dokter yang baru saja keluar dari rumah sakit hewan dan berjalan di belakang kami, kemudian setelah sampai di penghujung jalan pintas itu di pertigaan tiba-tiba si guguk –bersama mas dokter itu— makjengunggut ada di depan kami lagi, kemudian aku memaksakan diri untuk menyalahi peraturan polisi lalu lintas, biar sajalah aku memaksa kakakatin untuk tetap berjalan di lajur kanan, toh ini nggak ada polisi, mereka masih tidur dan nggak akan terbangun walaupun digigit nyamuk sekalipun, gara-garanya Cuma satu : di lajur kiri ada si guguk, aku tidak lagi memikirkan atribut dan persenjataan yang aku bawa, biar saja ‘malu’ kuusir sebentar dari bilik kanan jantungku, kemudian secara dumadakan : si guguk balik kanan maju jalan setelah kami menemukan lagi jalan pintas yang lain (ini juga jangan dibilangkan siapa-siapa ya.Sssstt), kemudian kemudian kemudian.... fyuuuhhh...terserang penyakit gila nomer berapa ya aku ini?

Hai....si pembaca, Anda bukan dari jurusan bahasa indonesia kan? Hmmm....itu tadi adalah contoh kalimat amat sangat super duper majemuk sekali, coba saja Anda membuat pola-pola SPOKnya, maka akan Anda dapati sebuah gambar tangga yang acak-acakkan. (Biarkan aku bergaya seperti ada secuwil manusia yang membaca tulisanku ini, walaupun sebenarnya tak akan ada yang membacanya, boro-boro membaca, membuka pun tidak, apalagi ngomen. Haha). Yah, mungkin seberantakan tangga itu lah kisah perjalanan hidupku yang panas dingin, aku hanya takut kalau terjadi pelapukan jiwa seperti batu yang melapuk karena terlalu cepatnya pergantian suhu. Haduh....ada lagi penyakit gila disini. Cukup.

Harusnya aku minta maaf kepada pak presiden, karena aku yang berstatus sebagai mahamurid ini jelas-jelas dengan sengaja merusak ejaan bahasa persatuan bahasa Indonesia. Tapi karena tak mungkin aku datang ke jakarta hanya untuk mengatakan hal itu (aku tidak mau mendramatisirkannya menjadi semacam perjalanan si Khan di pilem My Name is Khan itu walaupun aku bisa saja menulis judul My Name is Cempluk), dan aku tak punya nomer hapenya pak Presiden (lagipula hapeku juga belum sembuh dari keterserangan penyakit katarak, jadi dia sekarang buta), maka aku putuskan untuk melanjutkan mengetik luapan kelaparan yang tak jelas ini...

Oke. Kemudian sampailah kami di medan tempur.. Bertempurlah kami. Pertempuran yang sangat menengangkan, dahsyat, luar biasa, hebat, wuiiiihhhh....pokoknya mahatempur (Hah??apaan?dapat istilah dari mana?). Satu keunikan dalam pertempuran ini : PERTEMPURAN TANPA MUSUH.

Yah, karena aku takut akan terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan, maka aku akhiri saja tulisan nggak jelas ini. Sampaikan saja salamku untuk medan tempur yang tiap beberapa menit sekali terdengar bunyi “pppsssssttt”, itu bukan suara si siapa yang buang gas, tapi suara alat yang terpasang di atas sana yang sedikit membuat heharuman di tengah pertempuran. Dan salam juga untuk baling-baling yang setia berputar di atas sana. Oh ya, tak seperti yang terdahulu, pertempuran kali ini lebih mengenyangkan, eh, bukan, menyenangkan. Bagaimana tidak, tak ada ancaman, tak ada tembakan yang menghujam, tak ada meriam, tak ada bambu runcing, tak ada apa apa, malahan ada gelak tawa cekikak cekikik dan sedikit kepanikan yang berujung kelegaan karena komandan telah mengambil alih semuanya. Satu lagi, komandan mungkin sedang bersuka cita dengan bagasi mengkilapnya dan kostum jambonnya. Maka dari itu di akhir pertempuran ini sang komandan menitipkan gurauan tentang gelapnya dunia ini jika kita kehilangan petromak, eh, maksudku kehilangan sang pencerah (wah....jadi ingat, aku kepengen nonton film sang pencerah. Sruks sruks).

PERTEMPURAN TANPA MUSUH. Hanya akan terjadi di dalam diri ini, mungkin. Ketika ada satu kasus yang dihidangkan oleh satu kubu untuk kubu yang lain, sedangkan mereka berseteru kuat sekali, sedangkan diantara mereka terjalin suatu hubungan darah, sedangkan diantara mereka sudah terlanjur ada sajian konflik, sedangkan mereka bukan musuh. Maaf lagi, ini pun juga setipe dengan kalimat amburadul di atas.
Untuk bundalin, kakakeka, kakakatin, dan kakakkakak yang lain yang aku pun masih rumit tentang silsilah keluarga ini.

Rindha, cempluk, dik rin, rinrin, ndanda, rineka, apa lagi? Ya terserahlah...

Ada satu celetukan yang sama sekali nggak nyambung dengan tulisan di atas :
Dan ketika kau temui kesedihan dalam hati yang tersebabkan karena suatu kekecewaan, maka bersyukurlah, karena sungguh kau masih diberi nikmat berupa hati untuk menikmati dan menjadi saksi betapa agungnya mahakarya ciptaan Allah ini, kau telah ditunjuk sebagai saksi. 
»»  READMORE...