[05 Oktober 2010]
Pojokan cine club memang terasa dingin oleh syarafku,
entah syaraf hati maupun syaraf ragaku. Yang kemudian menjadikan aku
menyeruakan kata-kata yang mungkin tak semestinya aku katakan, walau hanya
dalam hati. Hening. Batinku saja. Aku tak lagi mendengar alunan lagu yang mendayu-ndayu
dari meja si mamacaca, karena rasanya aku ingin sekali marah pada telingaku. Aku tak lagi mendengarkan cengkramaan yang
ngalor ngidul ngetan ngulon di belakangku. Aku tak lagi memikirkan baju apa
yang aku kenakan. Batik entah model apa, yang jelas banyak yang menyamainya.
Sekarang?
Si mamacaca sedang berdoremi ria di depan sana, entah
tempat apa itu, aku tidak jelas sangat akan hal itu. Dulu pernah aku
berkenalan, namun sekarang seakan melupakan teman barunya ini. Teman baru yang
terlupakan, sayang sekali, ada ada saja predikat untuk seorang teman baru yang
terlupakan ini. Aku? Mungkin, lantas sipa lagi. Sekarang apa lagi? Pembahasan
tentang : “...kula dalah panjengan sedaya
minangkan titah sawantah ingkang pinurba kawasesa dening Allah
Subhanahuwata’ala ingkang murbeng dumadi bla bla bla...., mungkin tak
seluruhnya kupahami arti per kata-nya. Aku mendapati rentetan huruf itu
dari kang guru –harusnya kutulis : kangguru—. Fyuh...entah.
Tadi sudah dipergemakan oleh seorang ukhti. Hebat
sekali ukhti itu, aku ingin berguru kepadanya, mengajariku berdendang nyaring macam
itu. Itu tadi, tadi juga sudah ada sekelumit sambutan dari para tetua, intinya
sama saja, ya itu itu saja, tak ada jimpitan perkataan yang nggreget.
Aku sendiri termangu dalam kesibukan memainkan pola
pikir orang waras yang sedang menggila –sebut : pola pikir kesemrawutan,
memberi mandat kepada kelima prajuritku untuk melompat-lompat sesuai pola pikir
kesemrawutan tadi. Lamalama menjadi lama, lamalama aku memutuskan suatu hal
–yang sebenarnya belum pernah jadian—, aku menidurkan si LC, lantas aku
membersamai kakakatin yang sedang menimba ilmu di depan sana. Ya, aku akan
menimba ilmu, dari sang inspirator.
Selanjutnya, selanjutnya, dan selanjutnya... Pembicara
yang yah... bisa dikatakan dahsyat hiya, hebat hiya, keren hiya, kalem hiya,
pendiam hiya, fyuhh...susah untuk digambarkan dengan kata kata. Intinya???
Maaf, tak ada istilah inti disini, ini bukan sel yang memiliki nukleous, hanya
ada organela organela yang sama sekali tak jelas dimataku –walaupun sudah
memakai kacamata— Tentang salamsalaman, tentang ramadhan yang menyandang gelar
bulan pengupgrade iman, tentang segala sedekah – memaafkan, entah darimana
beliau menghubungkan antara sedekah dengan memaafkan dan juga hubungannya
dengan tema salamsalaman. Hebat sekali beliau ini. Beliau yang disebut oleh si mamacaca
sebagai “raka mas”.
Setelah segala ilmu masuk dalam bebenakku, dan
kemudian keluar lagi tanpa permisi, hanya meninggalkan sidik jari dan tapak
kaki dalam buku catatan kecilku. Tanpa salam juga dia ngeluyur entah kemana,
dan tak mau mengangkat telponku. Awalnya aku ingin mengajaknya untuk memainkan
micropon, berlagak seperti sang pembicara tadi, dan menyampaikan sepenggal kata
tanya yang mungkin akan menyerang balik pada diriku sendiri di depan
teman-teman dan para dosen. Namun itu hanya bayanganku saja. Nyatanya tidak ada
ruang untuk kami melancarkan bumerang itu. Jadi, tidak perlu untuk aku pikirkan
lagi tentang hal itu, buang saja bumerang itu. Tidak akan melancarkan protes kepada
si mamacaca yang tidak menggubris smsku yang menggelitik tentang pesanan ruang.
Tidak seperti dugaan awalku, adanya sepotong hiburan
yang setidaknya berusaha menhibur diriku yang tak menentu suhunya ini,
menghindari terjadinya pelapukan. Seperti bebatuan yang melapuk ketika
perubahan suhu terlalu kontras, atau seperti gelas dingin yang disirami air
mendidih dan kemudian meretakan diri. Ternyata ini adalah acara puncak dan
kemudian akan disusul oleh acara topi, maksudku acara penutup. Ooohh...biasanya
aku akan nyaman sekali berlama-lama disini, walau kondisinya tak sama seperti
biasanya, walau memang sedang bersuhu tak menent, walau walau walau dan walau
yang lain lain. Dan biasanya aku enggan sekali memakai topi, maksudku acara
penutup. Tapi kali ini luar biasa.
“Aku
ingin mencintaiMu, setelusnya sebenar benar aku cinta, dalam doa dalam ucapan
dalam setiap langkahku. Aku ingin mendekatiMu selamanya, sehina apa pun diriku
......”. Maaf, bukan apa apa, itu penggalan lagu yang (saat ini) mengiringi
jejemarianku menari nari diatas tubuh si LC. Aku suka sekali lagu itu. Apa lagi
lagunya si Fika yang berjudul Doa Kalbu. Nyaman sekali mendengarnya. Tatkala
juga hatiku yang sedang poyang payingan tak menentu ini mendapati setetes embun
–terlalu sering berimajinasi aneh, penyakit gila nomor 571—.
Kembali pada bahasan awal. Hhmm..aku ingat, ketika
tadi ada acara tambahan, mamacaca sebut itu salamsalaman. Unik memang
istilahnya, salamsalaman. Ya, salamsalaman. Biar tiga gratis satu, aku tulis
lagi, salamsalaman. Aku menjabattangani beberapa saudara dan saudariku yang
entah aku telah berapa juta kali berdosa kepadanya, buku catatan dosaku aku
titipkan pada malaikat rakib atid, aku berikan sajalah pada mereka, aku tak
punya pulpen untuk mencatatnya, itu buku sepesial, tak bisa ditulisi dengan steadler,
pilot, maupun snowman. Jabat tangan. !@#$%^&!@#$%^ (dianggap ada gambar
jabat tangan).
“.......Adicara
salajengipun inggih menika panutup. Saderengipun adicara menika kita tutup, ing
mbok bilih anggenipun kula ndherekaken lampahing adicara ing siang menika
kathah cicip cewet cicir kaduk cupeting nalar kiranging budi, labet kuthunging
paramasastra, kula tansah mawantu wantu nyuwun lumebering sih samodra
pangaksami........” kekalimatan itu masih terjiplak di memoar otakku, bekas waktu
dulu itu pernah suatu kali aku berguru pada kangguru untuk memenuhi perintah
atasan. Ya sekarang aku mendengarnya lagi, tapi tak kembar.
AC mati? Ya. Ooo. Baru aku sadari bahwa aku tak
merasakan dinginnya belaian AC. Terlalunya aku dalam merasai dedinginan yang
kadang beralih pada pepanasan dan kemudian kembali pada dedinginan lagi dan
begitu seterusnya. Sepeti butuh semacam kondensator suhu yang menstabilkan suhu
mesin kejiwaanku. Atau tetap pada belanjaanku siang ini di swalayan dedinginan.
Lotisan pelem, membuatku ingin pulang ke rumah orang
tuaku..... Mamak..
Kamar kakakatin, 14 : 17