Yang dulu hanya aku
dengar dari ceritaan mereka-mereka yang mengalaminya, mereka duluan. Kini aku
percaya bahwa itu benar adanya. Membuatku semakin merasa bersalah atas kematian
sahabatku. Dulu aku terlalu mengacuhkan ceritaan mereka-mereka itu, hingga aku
terlalu berbaik sangka terhadap apa yang dirasakan sahabatku.
Apa aku salah ya. Mempositifkan pikiranku, bahwa
sahabatku pasti akan baik-baik saja, tidak akan seperti mereka-mereka yang
bercerita menakut-nakutiku. Namun nyatanya, aku mengalami apa yang mereka
alami. Allah membuktikan kebenaran cerita mereka. Sahabatku meninggal, sama
seperti ceritaan mereka, yang dulu aku anggap terlalu lebai, dan aku tak mau
menjadi penakut.
Sesak, memang sesak sekali rasanya. Ketika terlalu
lelah tubuh ini menyongkong beban. Ketika tas punggungku seperti berpuluh-puluh
kali lebih berat. Ketika lenganku memaksakandiri untuk menjinjing ember itu.
Ketika adikku rewel dan aku mencupcupnya dengan menggendongnya jalan-jalan
keliling rumah hingga tepian sawah tetangga. Ketika ketika ketika dan ketika
yang lain.
Mungkin yang aku rasakan tidak lebih buruk dari apa
yang dirasakan oleh mereka-mereka dan oleh almarhumah sahabatku sendiri. Memang
derajatku belum begitu parah, atau entahlah aku juga belum pernah menanyakan
pada dokter berapa derajatku, apakah tergolong ringan-sedang-atau berat. Aku
belum pernah tahu tentang itu. Yang aku tahu hanyalah kurva tulang punggungku
yang sepertinya punya nilai seni tinggi, lengkungan yang indah memang.
Dua-tiga-atau empat tahun yang lalu atau berapa (tidak tahu pastinya) aku
memilikinya, dan foto rongsen itu masih kusimpan. Aku tak membelinya dengan
harga yang mahal. Aku mendapatkannya secara gratis. Aku diberi. Hadiah dari
Allah. Hadiah terindah, disaat aku mencecap dunia SMA. Hadiah yang akan tetap
kumiliki hingga aku mati kelak.
Aku tak mau mengatakan kepada teman-teman dan sahabatku
tentang ini lagi. Cukup mereka tahu sebatas skoliosis yang aku punya. Tidak
usahlah dijelaskan tentang gejala sesak nafas yang mulai kurasakan ini. Biarkan
aku istirahat, mengumpulkan oksigen lagi, yang kadang susah kudapati ketika aku
beraktifitas. Sering kuanalogikan pada merosotnya daya tangkap otakku, lantaran
suplai oksigen ke otak mungkin sudah tak sebanyak dulu waktu aku kanak-kanak.
Sudahlah. Aku hanya tak mampu membayangkan, seperti apa aku kelak ketika sudah
berumah tangga, mampu kah aku, bertindak layaknya ibu rumah tangga yang banyak
kerjaan mengurus rumah seisinya, sebagai istri yang senantiasa setia melayani
suami, sebagai ibu dari anak-anakku yang mungkin tak akan membayar baby sitter
untuk mengasuh mereka, apa aku mampu, dan bahkan jika kelak aku tinggal
bersanding dengan mertua dimana aku yang memegang tanggung jawab mengurus
mereka. Yah, aku harus mampu.... Harus Mampu.... Sakitku tak akan mengalahkanku..
Aku akan mengalahkan penyakitku.. Walau mungkin tanpa obat ataupun operasi. Aku
yakin Allah selalu ada untukku... Allah pasti menunjukan kekuasaannya. Mungkin
keajaiban yang aku alami.. J