Sabtu, 26 Februari 2011

Gethek Tanpa Sangga


Terasa sangat hambar ketika aku mencoba mencicipi beberapa garam dan gula. Tapi ketika aku beralih menyajikan sejimpit sambal pada juluran lidahku, terasa sangat beragam. Sinyal-sinyal aneka rasa yang kurasakan seperti ujung-ujung tombak yang mengujam pada uliran pohon pisang. Entah apa yang salah dengan indera perasaku, semua tak saling berkoneksi, atau kadang ada kadang tidak. Semacam gelombang hotspot internet ini yang membuatku geregetan.

Bukan apa, apa, mengapa aku menulis hal yang mungkin “nggak jelas”. Pasalnya, posisiku sedang dalam masa transisi dari seberang sungai ke seberang yang lain. Tak ayal jika segala rasa khawatir dan was was, senang, maupun sedih menyelimuti lekukan hati yang tengah sedikit enggan  melukis lagi. Melukis tentang dua gunung yang menghimpit separuh matahari dan di hiasi gumpalan awan yang menggulung teratur seperti bunga, dan ada pula sebatang jalan yang mengalir dari ujung tengah dua gundukan itu menuju arahku. Entah lah, itu terkonsep dengen jelas di memoarku, jelas sekali, dan selalu tergambar ketika aku dibebani oleg seseorang untuk mengekspresikan jiwaku dengan media selembar kertas buku gambar yang sering dengan sengaja aku bagi menjadi dua kolom. Aku seperti itu. Dulu. Bukti otentik karya-karyaku masa lalu masih ada beberapa tersimpan dalam file-file hiden di pojok monitor jiwa. Ya, memang begitu adanya.

Itu masalah sebelah sisi sana, seberang sana, melompatan ke arah sana dari sungai ini. Sedangkan arah yang berlawanan dari itu, aku tak tau dengan pasti seperti apa macam bentukan yang akan kugambar seperti aku menggambar dua gundukan tadi. Seberang yang aku tuju, baru tampak beberapa persen saja yang tersamarkan oleh embun dan kabut. Apalagi mataku yang melupakan entah dimana letak kacamataku, itu membuat aku tak mengerti seperti apa kondisi tanah seberang.

Disini, di sungai ini. Aku berdiri pada sebuah gethek yang tanpa ada yang menyangga kecuali guliran air yang mengalir dengan irama indah. Sebilah bambu kupegang erat, erat sekali, walau terkadang lugut-lugut itu menyibak pori-pori telapakan tangan kananku, hingga aku mempekerjakan tangan kiri untuk membantu pengerjaannya. Walau kekuatannya tak sama, setidaknya itu membantuku tetap seimbang di atas alat penggerak ini. Entah apa kata orang tentang kelakuanku ini. Jika saja ada yang mau melakukan penelitian berobjekkan aku, aku persilahkan. Sekedar menghitung intensitas penggunaan tangan kanan dan tangan kiriku. Lalu membuat rumus presentase atas hal itu. Hingga kelak aku mencapai seberang itu lebih dominan mempekerjakan tangan yang mana dari mereka. Boleh saja, jika mampu, bahkan aku pun tak akan melakukannya.

Di atas gethek ini, hanya berbekal garam, gula, dan sambal. Hanya sambal saja yang kurasakan aneka rasa, dan mewakili semua rasa dengan komposisi tertentu, walau tetap saja pedas mengetuainya. Ya, garam dan gula hanya pelengkap yang mengenyangkan entah kapan akan menyenangkan.



»»  READMORE...

Jumat, 25 Februari 2011

Bagaimana Aku Bersikap?


Bagaimana Aku Bersikap? Maaf, pertanyaan itu berjingkat-jingkat di seputaran memoriku yang konon katanya sudah agak di bawah rata-rata daya ingatnya. Apa?? Mengapa aku menanyakan “Bagaimana aku bersikap”? Bahkan itu sangat tidak penting sekali untuk aku jadikan sebuah tulisan di catatan kecil ini. Toh, pasti mereka akan berkata “apa sih maksud tulisanmu? Pola pikirmu sama sekali tak sama dengan pola pikir manusia pada umumnya! Berhentilah bertele-tele.”

Fyuh. Helaan nafas yang lumayan agak panjang itu terhenti secara mendadak dan kemudian berlanjut dengan hembusan yang tak beraturan ketika sepotong demi sepotong aku memunguti sesuatu yang tercecer. Yang tercecer? Ya, awalnya aku hanya sekelebat melihat sepotong terjatuh begitu saja, di hadapanku (oh, agak kesamping kanan di depanku, persis di dekat sepasang sandal yang kulepas karena basah). Ku biarkan saja potongan itu. Beberapa detik kemudian sepotong yang lain melesat membentuk garis gerak parabola dari sudut kiri itu menuju ke titik sekitar dua depa di arah barat daya sana jika aku menghadap ke barat. Tak sampai dua detik, disusul potongan lain yang melompat terjun langsung ke bawah seperti elang yang menukik tajam mengincar ikan cethul. Dan seterusnya dan seterusnya. Interval frekuensinya semakin sering dan sering, hingga tak mustahil ada kesejajaran dalam mencecerkan diri. Dihiasi dengan berbagai gaya, entah salto, guling-guling, smash, kupu-kupu, stradle, dan lain sebagainya. Itu membuat sepasang mata ini merasakan mendapati sesuatu yang lumayan semrawut lantaran mereka “blederi” tempat yang telah aku bersihkan sebelumnya. Tercecer. Begitu. Saja.

Lalu apa hubungannya dengan “bagaimana aku bersikap”??? Keterceceran potongan sesuatu dengan teoritis cara bersikapku. Oke. Memang, semua hanya teori. Hanya. Bukan, teori tidak dapat di”hanya”kan. Kadang memang kita mencap si teori itu sebagai sesuatu yang PERFECT, IDEAL, SEMPURNA. Tanpa pernah mengingat anomali air, mungkin. Hehe. Ketika kita mendapat predikat ‘gagal’ dalam berkarya dan merasa bahwa ‘aku sudah benar, hanya kenyataan di sekitarku saja yang tidak mendukung kebenaranku ini’, bahkan mengatakan ‘alaaaah...semua itu hanya teori, tidak realistis!’. Stop. Itu aku yang memikirkannya. Ketika aku menuliskannya pun sebenarnya aku memikirkan ketidakjelasan pada tulisanku ini, jemariku bebas meloncat-loncat dengan indah kesana kemari, otakku bebebas mengirimkan pesan perintah kepada mereka, mataku pun enjoy it. Kita salah, ops..maaf, aku salah. Justeru dengan adanya teori itu lah kita hidup. Why??

Hidup adalah rentetan kejadian yang terolah karena adanya masalah. Itu menurutku. Entah apa menurut para ahli di buku-buku tebal yang membuatku kenyang itu. Dalam artian hidup yang seperti itu, dapat di simpulkan bahwa hidup ada karena ada masalah. Katakan pada MASalah : “Aku ada kar’na kau pun ada, dengan cinta kau buat diriku HIDUP selamanya” (ditembangkan dengan lagunya Radja ‘). Hah??! Sssttt.. Apa sih masalah itu? Siapa sih MASalah itu? Kali ini aku akan merunut kata-kata dosenku “masalah adalah kesenjangan antara apa yang terjadi (kenyataan) dengan apa yang seharusnya terjadi (teori)”. Kesenjangan itu lah yang menjadikan kita mencari jalan keluar untuk menjembatani antara keduanya.  

Ketika manusia purba (katanya) ingin makan daging binatang, maka mereka menyulap batu menjadi kapak untuk berburu di hutan, ketika graham bell merindukan seseorang di tempat yang jauh maka dia mengaryakan seonggok mesin lumayan kecil disebitu pesawat telephone, ketika ary ginanjar keluar kelas dan berjalan di lorong sekolahan hanya untuk memikirkan tentang jati dirinya dan tuhannya maka dia pun mendalami ke’semrawutan’nya itu dan mengupayakan penjawaban yang memuaskan dan akhirnya launchinglah ESQ, ketika ...hem..ketika.. apa lah. Semua itu, maksudku benturan atau ganjalan yang janggal di pikiran kita itulah yang menjadi pecut amarasuli (eh bukan!) menjadi batu loncatan bagi kita untuk mengembangkan diri dan meraih anak tangga di atas kita, itu artinya jika kita berhasil melaluinya berarti kita hidup. Namun jika benturan-benturan itu justru membuat kita letih lemah lesu lunglai lapar luweh lama lama lebai, aku sebut itu tidak hidup.
Yah, yah, yah..

Omyangan ini tidak akan berakhir jika kubiarkan jemariku menari terus. Bahkan intinya pun belum akan jelas lugas runut terpadu, sebelum semua uneg-uneg ini aku cecerkan di layar laptopku dan diedit hingga ratusan kali. Cara berpikir yang sat set berbuntut pada kesemrawutan. Itulah suatu suasana dalam diri yang kurang tertata. Hingga kembali pada topik pertama tadi “bagaimana aku bersikap”, itu semrawut pada realitanya. Selentingan itu menurut beberapa orang adalah termasuk cabang MASalah “sikapku agak tidak baik”. Jadi menurutku pasti ada teorinya. Jadi menurutku juga itu indikator kehidupanku. Jadi menurutku juga aku mendapat amanah abstrak untuk membangun jembatan antara dua kubu, kubu teori dan realita, yang mungkin bisa membantu aku meloncat meraih anak tangga di atasku. Dan sekarang aku sedang memunguti potongan-potongan material yang tercecer tadi untuk dijadikan bahan membangun jembatan.
  

Kuningan i 23, 00:10 WIB
»»  READMORE...