Terasa sangat
hambar ketika aku mencoba mencicipi beberapa garam dan gula. Tapi ketika aku
beralih menyajikan sejimpit sambal pada juluran lidahku, terasa sangat beragam.
Sinyal-sinyal aneka rasa yang kurasakan seperti ujung-ujung tombak yang
mengujam pada uliran pohon pisang. Entah apa yang salah dengan indera perasaku,
semua tak saling berkoneksi, atau kadang ada kadang tidak. Semacam gelombang
hotspot internet ini yang membuatku geregetan.
Bukan apa, apa,
mengapa aku menulis hal yang mungkin “nggak jelas”. Pasalnya, posisiku sedang
dalam masa transisi dari seberang sungai ke seberang yang lain. Tak ayal jika
segala rasa khawatir dan was was, senang, maupun sedih menyelimuti lekukan hati
yang tengah sedikit enggan melukis lagi.
Melukis tentang dua gunung yang menghimpit separuh matahari dan di hiasi
gumpalan awan yang menggulung teratur seperti bunga, dan ada pula sebatang
jalan yang mengalir dari ujung tengah dua gundukan itu menuju arahku. Entah
lah, itu terkonsep dengen jelas di memoarku, jelas sekali, dan selalu tergambar
ketika aku dibebani oleg seseorang untuk mengekspresikan jiwaku dengan media
selembar kertas buku gambar yang sering dengan sengaja aku bagi menjadi dua
kolom. Aku seperti itu. Dulu. Bukti otentik karya-karyaku masa lalu masih ada
beberapa tersimpan dalam file-file hiden di pojok monitor jiwa. Ya, memang
begitu adanya.
Itu masalah sebelah
sisi sana, seberang sana, melompatan ke arah sana dari sungai ini. Sedangkan
arah yang berlawanan dari itu, aku tak tau dengan pasti seperti apa macam
bentukan yang akan kugambar seperti aku menggambar dua gundukan tadi. Seberang
yang aku tuju, baru tampak beberapa persen saja yang tersamarkan oleh embun dan
kabut. Apalagi mataku yang melupakan entah dimana letak kacamataku, itu membuat
aku tak mengerti seperti apa kondisi tanah seberang.
Disini, di sungai
ini. Aku berdiri pada sebuah gethek yang tanpa ada yang menyangga kecuali
guliran air yang mengalir dengan irama indah. Sebilah bambu kupegang erat, erat
sekali, walau terkadang lugut-lugut itu menyibak pori-pori telapakan tangan
kananku, hingga aku mempekerjakan tangan kiri untuk membantu pengerjaannya. Walau
kekuatannya tak sama, setidaknya itu membantuku tetap seimbang di atas alat
penggerak ini. Entah apa kata orang tentang kelakuanku ini. Jika saja ada yang
mau melakukan penelitian berobjekkan aku, aku persilahkan. Sekedar menghitung
intensitas penggunaan tangan kanan dan tangan kiriku. Lalu membuat rumus
presentase atas hal itu. Hingga kelak aku mencapai seberang itu lebih dominan
mempekerjakan tangan yang mana dari mereka. Boleh saja, jika mampu, bahkan aku
pun tak akan melakukannya.
Di atas gethek ini,
hanya berbekal garam, gula, dan sambal. Hanya sambal saja yang kurasakan aneka
rasa, dan mewakili semua rasa dengan komposisi tertentu, walau tetap saja pedas
mengetuainya. Ya, garam dan gula hanya pelengkap yang mengenyangkan entah kapan
akan menyenangkan.