"Dasar, pelit...!", teriak seekor
semut kepada kucing loreng yang baru saja masuk gudang. Si kucing loreng hanya
tersenyum sinis dan melanjutkan langkah dengan santainya seolah tidak terjadi
apa-apa. Wajah semut memerah, sepasang matanya yang bening mulai berkaca-kaca,
bibirnya ia gigit, ia menanahan tangis.
Semut hitam itu kini termangu di pojok gudang,
di bawah meja tua bekas meja makan Napoleon. Di pojok lain kucing loreng sedang
menata kain perca untuk dijadikan alas tidurnya. Beberapa helai benang yang
berceceran di lantai membuat semut itu enggan menghapiri si kucing, toh jika ia
melakukannya itu hanya akan membuat tangisnya pecah. Ruang yang remang-remang
gelap menjadikan suasana terasa nyaman untuk mencucurkan tangisnya, namun ia
tak melakukannya.
Memorinya kembali pada masa beberapa menit
tadi, ketika pintu gudang terbuka. Pintu yang terbuat dari kayu jati tua itu
berdenyit merdu, hampir membuat irama nyaring di telinga. Sorot cahaya lampu
petromak menyapu salah satu sudut ruang. Beberapa potong cahaya itu terhalangi
oleh sebentuk bayangan hitam, seperti sosok rahwana yang bertengger di kelir
putih. Semut hitam di berlari menuju balik tumpukan kadus, kepalanya nampak
timbul tenggelam mengintip kejadian di sekitar pintu tadi. "Meooooooowwng..uaaarkkk..!",
terdengar jeritan dari arah bayangan hitam itu. Seonggok karung terlempar ke
pojok gudang, "gubraaaaaaaaakkk!", menumbuk tumpukan kardus dimana
semut itu bersembunyi. "Brukk..!", dari arah lain terdengar suara
benda yang jatuh. Semut terbelalak kaget. Hampir saja tubuh mungilnya terjepit
antara kardus dan tembok.
Dengan langkah yang gemetaran, semut hitam
mendekati karung itu. "Meooooooownggg..," suara itu kembali
terdengar, namun lebih lemah. Tiba-tiba dari mulut karung itu keluar seekor
kucing loreng, tubuhnya kurus kering, matanya memancarkan tanda bahwa dia
sedang lemah. "Emm...Apa kau baik-baik saja?", semut hitam mencoba
membuka percakapan. "Hm...", sahut si kucing loreng, tanpa melirik
sedikitpun kemudian berjalan tertatih menuju kolong meja. Semut hitam bingung,
apa yang terjadi, dan mengapa kucing itu begitu acuh tak acuh.
Semut hitam teringat benda lain yang juga
terjatuh tadi, dia mencoba mencari di seluruh penjuru gudang. Hanya dengan
berkas cahaya dari ventilasi jendela, dia mempekerjakeraskan matanya. Sesekali
dia menengok ke arah kucing tadi, dilihatnya kucing loreng itu tergolek lemas.
Dia ingin menolong kucing malang itu, namun apa daya, tubuhnya yang kecil itu
tak mampu berbuat apa-apa.
Bau apa ini...? Semut mencoba mencari arah sumber
bau itu. Didapatinya sebungkus plastik kresek putih. "Ah, aku tau, ini bau
makanan", bisiknya. "Bagaimana bisa aku membuka plastik ini?",
semut hitam pun ragu. Dia pun terdiam, mengitari plastik itu. Setelah
beberapa menit, "Aha..!! Aku tau!", wajah semut hitam pun sumringah.
Segera dia berlari menuju balik tumpukan kardus tadi, masuk ke dalam lubang
kecil di pojok tembok. Tak selang lama, berhamburanlah koloni semut hitam,
sumamburat keluar, dan menyerbu plastik kresek itu.
"Aku harus mendapat potongan yang
besar..!". teriak seekor semut sambil menggerogoti plastik itu.
"Ah, apa apa an kamu, kita harus bagi rata...! Toh, plastik ini nampaknya
besar sekali, pasti makanannya banyak!", jawab semut lainnya yang juga
menggerogoti plastik. Suasana menjadi gaduh, gaduh bagi semut itu, bukan bagi
kucing. Nampak kucing loreng masih tergolek tanpa suara.
"Sudah-sudah, makanan ini nanti kita bagi
menjadi dua, satu bagian untuk kita, dan sebagian yang lain untuk kucing
itu," semut hitam itu nampaknya bertindak sebagai pemimpin, menjelaskan
niatnya menolong kucing itu.
"Ah...apa??!! Dia kan hanya tiduran,
sementara kita bekerja keras, kenapa harus berbagi dengannya?", protes
salah satu prajurit.
"Kasihan kucing itu, lemah sekali, baru
saja dia dilempar ke gudang ini oleh manusia hitam. Sepertinya dia butuh asupan
tenaga, lihat, bergerak pun nampak lemas sekali," jelas si semut hitam
sembari menunjuk ke arah kolong meja dimana kucing loreng itu berada.
Mendengar penjelasan itu, semua koloni setuju
untuk berbagi makanan dengan kucing malang itu. "Okelah kalau begitu, kita
harus berbagi, siapa tau kita bisa bersahabat dengannya, jadi tidak kesepian di
gudang gelap ini", seekor semut termuda. "Sepatu...!", sahut
para koloni, hampir serentak.
Setelah berjuang menggerogoti plastik kresek
putih itu, akhirnya sobeklah salah satu pojok plastik. Serentak para koloni
semut hitam berbaris rapi dan satu persatu masuk ke dalam plastik. Mereka
terbiasa hidup teratur, tanpa dikomando pun sudah bisa menempatkan diri. Satu per
satu semut menggendong sebutir nasi keluar menuju dekat tumpukan kardus.
Sedangkan untuk mengusung lauknya yang berupa potongan ikan asin dan telur itu
mereka lakukan dengan cara gotong royong.
Setelah semua makanan keluar dari plastik,
semut hitam yang berniat tulus tadi segera berkata, "Sekarang, saatnya
makanan ini kita bagi menjadi dua". "Oke!", teriak koloni
berbarengan. Sementara itu, semut hitam itu mendekati kucing loreng yang masih
tergeletak di kolong meja.
"Maaf, apakah kau sudah makan?", dengan
penuh rasa simpati semut itu bertanya pada kucing. "Ah..apa
urusanmu?", jawab kucing ketus. Semut hitam terdiam.
"Emm...em...em....aku, aku, hanya ingin menawarkan makanan, mungkin,
mungkin kau butuh makan untuk mengembalikan tenagamu... ku, ku, kulihat kau,
kau nampak lemah..", suara semut itu terputus-putus, dia takut jika kucing
loreng itu marah.
Namun, tanpa berucap sepatah kata pun, kucing
loreng bangkit, kemudian jelalatan mencari dimana makanan itu. "Itu,
disana, sebagian untukmu, sebagian untuk keluargaku", ucap semut hitam,
menunjuk ke arah tumpukan kardus. Dengan tertatih, kucing itu berjalan
mendekati gundukan nasi, ikan asin, dan telur, yang ada di dekat tumpukan
kardus. Semut hitam mengikutinya dari belakang. "Untukku?", tanya
kucing. "Ya, ini.. Yang itui untuk keluargaku", jelas semut hitam.
Kucing loreng pun makan dengan lahabnya.
Sementara koloni semut pun juga membagi makanan untuk makan bersama. Namun,
berhubung kucing lebih cepat makannya, maka jatah makanannya pun habis duluan. Dengan
mata penuh harap, kucing itu menatap para koloni yang sedang menikmati makanan
mereka. "Hai semut kecil, kalian hanya makhluk kecil, apa butuh banyak
makanan?", ucap kucing. Seperti terkena tombol pause, seluruh koloni semut
itu berhenti mengunyah makanan, mereka saling berpandangan. Apa yang ada di
pikiran mereka semua sama, "pasti kucing ini masih kelaparan" pikir
mereka.
Setelah berembug, akhirnya mereka memutuskan
untuk memberikan jatah makanan mereka untuk kucing loreng. Dengan senang hati,
kucing loreng pun menerimanya dan segera melahabnya.
"Ya, kasian dia, kalau kita masih bisa
mencari makanan di bawah tanah, tapi kalau dia???", ucap salah satu semut.
"Benar apa katamu", sahut semut lain. Mereka berkomentar, mengungkap
simpati masing-masing. Sementara kucing loreng masih menikmati makanannya.
"Hei, apa kalian melupakan sang
ratu??", teriak salah satu semut di barisan belakang. "Hah??!!",
para koloni terbelalak, menyadari kesalahan mereka. Mereka lupa bahwa sang ratu
sedang mengandung, dan hampir melahirkan. Ratu butuh makan, sekedar tenaga
untuk melahirkan. Semut hitam langsung tanggap, segera dia menghampiri kucing
loreng dan menceritakan masalah itu. "Kawan, maaf, kami lupa untuk
membawakan makanan untuk ratu kami yang hampir melahirkan, maukah kau memberi
kami seupa nasi untuk ratu kami?", dengan lembut semut hitam berbisik, dia
pikir kucing loreng itu pasti sudah tidak temperamen lagi, toh sudah diberi
banyak makanan.
"Apa??!! Kau sudah memberikannya padaku,
tak bisa diambil lagi!!", ucap kucing loreng, tetap denga nada meninggi.
"Ta...ta...tapi ini..ini...untuk ra...ra...ratu,", semut hitam mulai
ketakutan mendengar gertakan kucing. Kucing loreng tak menjawab, tetap
menikmati makanan yang tinggal beberapa bagian saja. "Sebutir saja,"
semut hitam bersikukuh meminta, demi ratunya.
Ketika nasi tinggal beberapa butir, para koloni
menyerbunya. Namun dengan cekatan kucing loreng itu melahab semuanya.
Terlambat. Para koloni itu terlambat. "Meooowng....aaarrrkkhh!",
kucing loreng mengeong seperti melihat musuh. Kemudian dia berjalan menuju
meja, melompat ke atasnya, kemudian melompat lagi ke ventilasi jendela yang
lumayan lebar, cukup untuk mencaplok tubuhnya. Kucing loreng menoleh ke bawah,
kemudian melompat keluar.
Mengingat kejadian itu, membuat semut hitam
sesak dalam diamnya. Tertegun.
Tanpa kata. Semut hitam pun menangis..
Pendhapa Tedja Kusuma FBS UNY, 24 Juni 2011