Perlahan Syifa mengusap
pipinya dengan kedua telapak tangan. Jilbab biru muda yang berjuntai Itu pun
telah berubah warna mejadi biru tua karena butiran air hujan telah melukisinya.
Lengan bajunya yang panjang pun sudah cukup dingin, basah. Antara air hujan
dari sang langit dengan air hujan dari sepasang mata pun tak dapat dia bedakan.
Langkah kaki Syifa berjalan perlahan menyusuri jalanan sepi yang tergenangi
luapan air selokan depan gedung mahasiswa.
Sudah malam, memang sudah
malam, adzan isya’ telah dikumandangkan sekitar satu jam yang lalu. Masjid
kampus tak terlampau sepi juga, ada
bergerombolan ikhwan yang sesekali sorak sorai ketika tontonan mereka membuat
geger. Gooollll..... Alhamdulillah! Teriakan mereka sampai terdengar riuh dari
depan gerbang gedung ini. Syifa menyapu kelopak matanya dengan sapu tangan yang
sebenarnya sudah basah. Mengibas-ibaskan tangannya di depan mata, memastikan
bahwa matanya sudah tidak berkeringat lagi.
Kreeekkk. Syifa membuka
gagang pintu, “kula nuwun, assalamualaykum”, uluk salam sembari melongok ke
dalam. Syifa tak tau apakah salamnya dijawab atau tidak oleh mereka yang ada di
dalam. Syifa langsung terduduk di sebagian tempat yang longgar. Komunitas di
dalam ruangan ini tak sama dengan komunitas di mana Syifa tadi beruraikan
senyum basah, maka Syifa tak kan mencampuradukkan antara keduanya. Mereka asik
masing-masing. Syifa pun juga demikian.
Rintik hujan di luar sana
semakin deras. Riuhnya gerombolan di masjid tadi terdengar samar, juga karena
di sini pun ada segerombolan yang menonton siaran yang sama. Syifa tak
terpengaruh oleh teriakan mereka, Syifa tetap diam menerawang jauh. Tangannya
memeluk kakinya yang sengaja ditekuk, duduk di pojok ruang ini. Merasakan
kehangatan tersendiri. Sesekali Syifa menatapi layar hape yang tergeletak di
sampingnya. Diam. Diam. Diam. Syifa menanti sebuah jawaban...
Pintu kamar mandi dia paksakan
untuk dikunci dari dalam. Tak mempermasalahkan betapa kotornya kamar mandi itu.
Tanpa Syifa rencanakan sebelumnya, Syifa tumpahkan air dalam gayung itu seperti
Syifa menumpahkan air dari kelenjar air matanya. Sejadi-jadinya Syifa melakukannya.
Tak ada yang tau kan? Hanya Allah yang tau. Ada rasa mencekik di leher ketika
Syifa mencoba menghentikan isak tangisnya. Syifa takut teman-temannya di luar
sana mengetahuinya. Syifa terus-terusan menumpahkan air dalam gayung,
byur..byur..byur.. Bunyi air itu sedikit membuat brisik, sehingga tangisannya
aman tak terdengar dari luar.
Pesan masuk yang beberapa
menit yang lalu mengetuk hapenya masih Syifa pandangi saja, layar hape pun
sudah terbasahi oleh air mata Syifa. Syifa sebenarnya tak ingin menangis seperti
saudari-saudarinya tadi. Memang tangis Syifa tak seperti mereka. Mereka terharu
atas perjalanan dakwah selama setahun ini, namun Syifa justru menyesali
ketidakpahamannya akan kasih sayang bapaknya. Bapak Syifa sayang sekali kepada
anak keduanya itu. Seperti saat ini, sudah tiba saatnya Syifa pulang ke rumah
namun Syifa belum terlihat juga di ujung jalan, bapak pasti menanyakan kabar
walau sekedar lewat sms.
Syifa bocah yang tak bisa membohongi orang tuanya. Dan
jika jawaban itu dirasa menggelisahkan sang bapak, Syifa masih bisa merangkai
kata supaya sang bapak merasa tenang dan tidak mengkhawatirkan Syifa. Namun
tidak untuk yang satu ini, Syifa merasa menyesal sudah menjadikan hati sang
bapak resah gelisah mengkhawatirkan kabar Syifa. Kasih sayang bapak sungguh
besar, bapak melindungi Syifa mati-matian. Bapak rela mengeluarkan sepotong
kata yang tajam, demi kebaikan Syifa. Walaupun Syifa sudah mengatakan bahwa
Syifa baik-baik saja, Syifa bisa jaga diri, Syifa sudah besar, Syifa tau mana
yang baik mana yang buruk, Syifa nggak akan seperti apa yang bapak khawatirkan,
Syifa tetap Syifa anak bapak, Pak.. Itu yang memberontak di batin Syifa. Namun
sang bapak kukuh pada prinsipnya, “sekali tidak tetap tidak, mau jadi apa kamu
nanti jika tidak patuh pada orang tua! Apa kamu tega kepada orang tua yang
melahirkan kamu?”. Sungguh, kasih sayang yang sangat luar biasa, sang bapak tak
pernah ketinggalan kabar tentang Syifa. Syifa salut akan perlindungan yang
Allah berikan melalui sang bapak.
“Jalan dakwah itu tak hanya
satu,Ukht”, suara lembut itu tak asing lagi di telinga Syifa. Syifa terbangun
dari mimpinya, ketika tangan dari ukhti itu mengusap lembut juntaian jilbabnya.
“Siapa?”, batin Syifa dalam hati, mencoba mengingat suara tadi. Di atas karpet
tebal dalam kamar kos itu Syifa masih tak beranjak juga. Di kamar itu memang
tak ada kasur busa yang empuk seperti milik teman-teman Syifa, Syifa dengan
senang hati mematuhi perintah dari dokternya untuk tidak tidur beralaskan kasur
empuk, apa pun alasannya, hanya terkadang Syifa pun melanggarnya karena
kepengen. Masih di karpet itu, matanya sesekali memancarkan seberkas harapan
yang membuat bibirnya tersenyum lagi, maklum sudah beberapa hari ini Syifa
seperti orang yang kebingungan. Nama ukhti itu pun belum ketemu juga di memori
otaknya, tiba-tiba hapenya berdering.. Itu bukan sms atau telpon, itu hanya
nada alarm yang sengaja dia setting jam tiga. Syifa bergegas mengambil hapenya
dan menyalakan tombol lampu senter. Lampu ruang tengah dan sekaligus lampu
sumur mati beberapa hari yang lalu dan belum laporan kepada bapak kos yang
berbeda rumah itu, jadi Syifa harus memakai senter ketika keluar dari kamar
pada malam hari.
Air wudhu terasa dingin
sekali di kulit Syifa. Itu membuat Syifa cepat-cepat menyelesaikan wudhunya dan
segera kembali ke kamar untuk sholat. Dalam tahajudnya, Syifa melaporkan semua
kabarnya beberapa hari ini kepada Allah. Syifa pun tau, sebenarnya, bahwa tanpa
Syifa melaporkannya pun Allah sudah tau, karena Dia Maha Mengetahui. Namun
hanya dengan begitulah hati Syifa menjadi tenang dan damai. Merasakan suatu
kelegaan, Syifa telah curhat, curhat kepada yang tak akan pernah berkhianat,
curhat kepada yang tak kan pernah ‘ember’, ya, curhat kepada Sang Khaliq.
Beberapa minggu kemudian...
Nuansa masjid di pojok
tikungan itu tak seperti beberapa bulan yang lalu. Puluhan pasang sandal
berjajar rapi di depan tangga masjid. Beberapa sepeda pun menempati tempat
parkir di sebelah dapur masjid. “Tepuk anak sholeh! Aku...”, suara polos
anak-anak di serambi masjid itu membuat orang-orang yang berlalu-lalang pasti
ingin melirik sejenak, sekedar memastikan siapa yang ramai di masjid itu.
Masjid itu dekat dengan persawahan, maka tidak heran jika yang berlalu-lalang
adalah para simbah-simbah petani. Sebagian dari mereka hanya tersenyum ketika
melihat seorang gadis kecil yang berdiri di depan papan tulis dengan cuwilan
kapur, berjinjit karena tak dapat menggapai bagian atas papan tulis. Tak ayal,
gadis itu pun hanya menebar senyum pada mereka, sesekali menyapa. Seperti
biasanya, seperti ketika gadis itu pulang dari perantauan dan berhenti di ujung
area sawah sana kemudian berjalan menyusuri persawahan, gadis itu terbiasa
menyapa mereka. Tidak heran jika mereka sudah saling akrab, meskipun namapun
tak hafal.
Ya, Syifa, nama gadis lugu
yang menemani anak-anak itu bermain riang. Di sini, di masjid ini, Syifa
mendapat tempat yang nyaman. Syifa memang suka dengan anak-anak. Membersamai
mereka bermain sambil belajar, menjadi hiburan tersendiri untuk seorang
mahasiswa semester tiga itu. Syifa tak lagi mendapat “pengawasan khusus” yang
sering berujung pada air mata seperti pada waktu itu ketika Syifa mengikuti
salah satu kegiatan di kampus. SMS jawaban yang menjadikan Syifa menumpahkan
air satu kolah di kamar mandi Gedung Mahasiswa itu sudah dihapus dari inboxnya.
Syifa sudah menemukan jalan yang lebih baik. Jalan dakwah yang dimaksud oleh
seorang ukhti di mimpinya itu. Jalan di mana Syifa merasa tenang dan nyaman
melaluinya. Syifa berharap jalan ini akan menjadi jalannya ke depan, menjemput
masa depannya, menjemput ridho Allah, menjemput kesempurnaan hidupnya, dan
bahkan menjemput jodohnya.
Selepas menemani adik-adik TPA,
Syifa sering bersepeda keliling desa, sekedar bermain sambil mencari kabar
terkini di seputar desa. “Mbak, ditunggu lho tulisane, apik!” teriak seorang
ibu muda di seberang jalan. Syifa hanya tersenyum manis sambil menjawab “enten
kabar napa nggih?”. Akhir-akhir ini Syifa senang menulis berita seputar
desanya. Syifa sengaja membuat web blog atas nama karang taruna yang memuat
kabar-kabar seputar desanya khususnya dusun di mana Syifa tinggal. Facebook pun
sudah berjalan dengan dukungan yang lumayan ramai. Awalnya Syifa hanya ingin
belajar mempraktekkan apa yang Syifa pelajari di perantauan sana, namun tak
dinyana ternyata tulisan Syifa mendapat respon yang baik dari para tetangga.
Syifa merasa senang, walaupun usaha Syifa belum sepenuhnya bisa mengumpulkan
kembali karang taruna yang berantakan beberapa tahun ini.
Wajar sana jika Syifa suka
kepada anak-anak, Syifa pun mempunyai dua orang adik, satu masih berumur dua
tahun dan yang lain usia kelas satu SD. Syifa, gadis kecil berparas bundar yang
berbalut jilbab itu juga ingin membersamai adik-adik PAUD yang beberapa bulan
ini sedikit terabaikan. Namun Syifa masih merasa kecil, Syifa tak layak
mengambil tindakan sendiri. Syifa menunggu putusan dari sang pemimpin dusun.
Syifa ingin mengerti akan
kedewasaan, Syifa ingin mengerti akan kebersamaan, Syifa ingin mengerti akan
pengabdian, Syifa ingin mengerti akan mengasihi, semuanya. Sekarang Syifa
sedang belajar mengertikan itu semua. Dan jika di perantauan sana Syifa masih
belum mampu mengerti seluruhnya, maka Syifa akan mengertikannya di kampung
halaman. Syifa mulai beranjak dari persembunyiannya, Syifa kecil yang dulu
selalu bersembunyi di kamar, kini sedang berjalan keluar, menyapa setiap mereka
yang lewat, Syifa ingin berguna bagi tanah kelahirannya. Jalan dakwah tak hanya satu. Banyak sekali. Di jalan itu pula akan ditemukan sepenggal kisah tentang
kedewasaan.