Jumat, 09 September 2011

Jalan Dakwah Tak Hanya Satu


Perlahan Syifa mengusap pipinya dengan kedua telapak tangan. Jilbab biru muda yang berjuntai Itu pun telah berubah warna mejadi biru tua karena butiran air hujan telah melukisinya. Lengan bajunya yang panjang pun sudah cukup dingin, basah. Antara air hujan dari sang langit dengan air hujan dari sepasang mata pun tak dapat dia bedakan. Langkah kaki Syifa berjalan perlahan menyusuri jalanan sepi yang tergenangi luapan air selokan depan gedung mahasiswa.

Sudah malam, memang sudah malam, adzan isya’ telah dikumandangkan sekitar satu jam yang lalu. Masjid kampus  tak terlampau sepi juga, ada bergerombolan ikhwan yang sesekali sorak sorai ketika tontonan mereka membuat geger. Gooollll..... Alhamdulillah! Teriakan mereka sampai terdengar riuh dari depan gerbang gedung ini. Syifa menyapu kelopak matanya dengan sapu tangan yang sebenarnya sudah basah. Mengibas-ibaskan tangannya di depan mata, memastikan bahwa matanya sudah tidak berkeringat lagi.

Kreeekkk. Syifa membuka gagang pintu, “kula nuwun, assalamualaykum”, uluk salam sembari melongok ke dalam. Syifa tak tau apakah salamnya dijawab atau tidak oleh mereka yang ada di dalam. Syifa langsung terduduk di sebagian tempat yang longgar. Komunitas di dalam ruangan ini tak sama dengan komunitas di mana Syifa tadi beruraikan senyum basah, maka Syifa tak kan mencampuradukkan antara keduanya. Mereka asik masing-masing. Syifa pun juga demikian.

Rintik hujan di luar sana semakin deras. Riuhnya gerombolan di masjid tadi terdengar samar, juga karena di sini pun ada segerombolan yang menonton siaran yang sama. Syifa tak terpengaruh oleh teriakan mereka, Syifa tetap diam menerawang jauh. Tangannya memeluk kakinya yang sengaja ditekuk, duduk di pojok ruang ini. Merasakan kehangatan tersendiri. Sesekali Syifa menatapi layar hape yang tergeletak di sampingnya. Diam. Diam. Diam. Syifa menanti sebuah jawaban...

Pintu kamar mandi dia paksakan untuk dikunci dari dalam. Tak mempermasalahkan betapa kotornya kamar mandi itu. Tanpa Syifa rencanakan sebelumnya, Syifa tumpahkan air dalam gayung itu seperti Syifa menumpahkan air dari kelenjar air matanya. Sejadi-jadinya Syifa melakukannya. Tak ada yang tau kan? Hanya Allah yang tau. Ada rasa mencekik di leher ketika Syifa mencoba menghentikan isak tangisnya. Syifa takut teman-temannya di luar sana mengetahuinya. Syifa terus-terusan menumpahkan air dalam gayung, byur..byur..byur.. Bunyi air itu sedikit membuat brisik, sehingga tangisannya aman tak terdengar dari luar.

Pesan masuk yang beberapa menit yang lalu mengetuk hapenya masih Syifa pandangi saja, layar hape pun sudah terbasahi oleh air mata Syifa. Syifa sebenarnya tak ingin menangis seperti saudari-saudarinya tadi. Memang tangis Syifa tak seperti mereka. Mereka terharu atas perjalanan dakwah selama setahun ini, namun Syifa justru menyesali ketidakpahamannya akan kasih sayang bapaknya. Bapak Syifa sayang sekali kepada anak keduanya itu. Seperti saat ini, sudah tiba saatnya Syifa pulang ke rumah namun Syifa belum terlihat juga di ujung jalan, bapak pasti menanyakan kabar walau sekedar lewat sms. 

Syifa bocah yang tak bisa membohongi orang tuanya. Dan jika jawaban itu dirasa menggelisahkan sang bapak, Syifa masih bisa merangkai kata supaya sang bapak merasa tenang dan tidak mengkhawatirkan Syifa. Namun tidak untuk yang satu ini, Syifa merasa menyesal sudah menjadikan hati sang bapak resah gelisah mengkhawatirkan kabar Syifa. Kasih sayang bapak sungguh besar, bapak melindungi Syifa mati-matian. Bapak rela mengeluarkan sepotong kata yang tajam, demi kebaikan Syifa. Walaupun Syifa sudah mengatakan bahwa Syifa baik-baik saja, Syifa bisa jaga diri, Syifa sudah besar, Syifa tau mana yang baik mana yang buruk, Syifa nggak akan seperti apa yang bapak khawatirkan, Syifa tetap Syifa anak bapak, Pak.. Itu yang memberontak di batin Syifa. Namun sang bapak kukuh pada prinsipnya, “sekali tidak tetap tidak, mau jadi apa kamu nanti jika tidak patuh pada orang tua! Apa kamu tega kepada orang tua yang melahirkan kamu?”. Sungguh, kasih sayang yang sangat luar biasa, sang bapak tak pernah ketinggalan kabar tentang Syifa. Syifa salut akan perlindungan yang Allah berikan melalui sang bapak.

“Jalan dakwah itu tak hanya satu,Ukht”, suara lembut itu tak asing lagi di telinga Syifa. Syifa terbangun dari mimpinya, ketika tangan dari ukhti itu mengusap lembut juntaian jilbabnya. “Siapa?”, batin Syifa dalam hati, mencoba mengingat suara tadi. Di atas karpet tebal dalam kamar kos itu Syifa masih tak beranjak juga. Di kamar itu memang tak ada kasur busa yang empuk seperti milik teman-teman Syifa, Syifa dengan senang hati mematuhi perintah dari dokternya untuk tidak tidur beralaskan kasur empuk, apa pun alasannya, hanya terkadang Syifa pun melanggarnya karena kepengen. Masih di karpet itu, matanya sesekali memancarkan seberkas harapan yang membuat bibirnya tersenyum lagi, maklum sudah beberapa hari ini Syifa seperti orang yang kebingungan. Nama ukhti itu pun belum ketemu juga di memori otaknya, tiba-tiba hapenya berdering.. Itu bukan sms atau telpon, itu hanya nada alarm yang sengaja dia setting jam tiga. Syifa bergegas mengambil hapenya dan menyalakan tombol lampu senter. Lampu ruang tengah dan sekaligus lampu sumur mati beberapa hari yang lalu dan belum laporan kepada bapak kos yang berbeda rumah itu, jadi Syifa harus memakai senter ketika keluar dari kamar pada malam hari.

Air wudhu terasa dingin sekali di kulit Syifa. Itu membuat Syifa cepat-cepat menyelesaikan wudhunya dan segera kembali ke kamar untuk sholat. Dalam tahajudnya, Syifa melaporkan semua kabarnya beberapa hari ini kepada Allah. Syifa pun tau, sebenarnya, bahwa tanpa Syifa melaporkannya pun Allah sudah tau, karena Dia Maha Mengetahui. Namun hanya dengan begitulah hati Syifa menjadi tenang dan damai. Merasakan suatu kelegaan, Syifa telah curhat, curhat kepada yang tak akan pernah berkhianat, curhat kepada yang tak kan pernah ‘ember’, ya, curhat kepada Sang Khaliq.

Beberapa minggu kemudian...
Nuansa masjid di pojok tikungan itu tak seperti beberapa bulan yang lalu. Puluhan pasang sandal berjajar rapi di depan tangga masjid. Beberapa sepeda pun menempati tempat parkir di sebelah dapur masjid. “Tepuk anak sholeh! Aku...”, suara polos anak-anak di serambi masjid itu membuat orang-orang yang berlalu-lalang pasti ingin melirik sejenak, sekedar memastikan siapa yang ramai di masjid itu. Masjid itu dekat dengan persawahan, maka tidak heran jika yang berlalu-lalang adalah para simbah-simbah petani. Sebagian dari mereka hanya tersenyum ketika melihat seorang gadis kecil yang berdiri di depan papan tulis dengan cuwilan kapur, berjinjit karena tak dapat menggapai bagian atas papan tulis. Tak ayal, gadis itu pun hanya menebar senyum pada mereka, sesekali menyapa. Seperti biasanya, seperti ketika gadis itu pulang dari perantauan dan berhenti di ujung area sawah sana kemudian berjalan menyusuri persawahan, gadis itu terbiasa menyapa mereka. Tidak heran jika mereka sudah saling akrab, meskipun namapun tak hafal.

Ya, Syifa, nama gadis lugu yang menemani anak-anak itu bermain riang. Di sini, di masjid ini, Syifa mendapat tempat yang nyaman. Syifa memang suka dengan anak-anak. Membersamai mereka bermain sambil belajar, menjadi hiburan tersendiri untuk seorang mahasiswa semester tiga itu. Syifa tak lagi mendapat “pengawasan khusus” yang sering berujung pada air mata seperti pada waktu itu ketika Syifa mengikuti salah satu kegiatan di kampus. SMS jawaban yang menjadikan Syifa menumpahkan air satu kolah di kamar mandi Gedung Mahasiswa itu sudah dihapus dari inboxnya. Syifa sudah menemukan jalan yang lebih baik. Jalan dakwah yang dimaksud oleh seorang ukhti di mimpinya itu. Jalan di mana Syifa merasa tenang dan nyaman melaluinya. Syifa berharap jalan ini akan menjadi jalannya ke depan, menjemput masa depannya, menjemput ridho Allah, menjemput kesempurnaan hidupnya, dan bahkan menjemput jodohnya.

Selepas menemani adik-adik TPA, Syifa sering bersepeda keliling desa, sekedar bermain sambil mencari kabar terkini di seputar desa. “Mbak, ditunggu lho tulisane, apik!” teriak seorang ibu muda di seberang jalan. Syifa hanya tersenyum manis sambil menjawab “enten kabar napa nggih?”. Akhir-akhir ini Syifa senang menulis berita seputar desanya. Syifa sengaja membuat web blog atas nama karang taruna yang memuat kabar-kabar seputar desanya khususnya dusun di mana Syifa tinggal. Facebook pun sudah berjalan dengan dukungan yang lumayan ramai. Awalnya Syifa hanya ingin belajar mempraktekkan apa yang Syifa pelajari di perantauan sana, namun tak dinyana ternyata tulisan Syifa mendapat respon yang baik dari para tetangga. Syifa merasa senang, walaupun usaha Syifa belum sepenuhnya bisa mengumpulkan kembali karang taruna yang berantakan beberapa tahun ini.

Wajar sana jika Syifa suka kepada anak-anak, Syifa pun mempunyai dua orang adik, satu masih berumur dua tahun dan yang lain usia kelas satu SD. Syifa, gadis kecil berparas bundar yang berbalut jilbab itu juga ingin membersamai adik-adik PAUD yang beberapa bulan ini sedikit terabaikan. Namun Syifa masih merasa kecil, Syifa tak layak mengambil tindakan sendiri. Syifa menunggu putusan dari sang pemimpin dusun.
Syifa ingin mengerti akan kedewasaan, Syifa ingin mengerti akan kebersamaan, Syifa ingin mengerti akan pengabdian, Syifa ingin mengerti akan mengasihi, semuanya. Sekarang Syifa sedang belajar mengertikan itu semua. Dan jika di perantauan sana Syifa masih belum mampu mengerti seluruhnya, maka Syifa akan mengertikannya di kampung halaman. Syifa mulai beranjak dari persembunyiannya, Syifa kecil yang dulu selalu bersembunyi di kamar, kini sedang berjalan keluar, menyapa setiap mereka yang lewat, Syifa ingin berguna bagi tanah kelahirannya. Jalan dakwah tak hanya satu. Banyak sekali. Di jalan itu pula akan ditemukan sepenggal kisah tentang kedewasaan.

»»  READMORE...