Rabu, 24 Oktober 2012

Biarlah Aku Diam

Ebiet G Ade
Biarlah aku buang di tengah lautan
Kerinduan yang bergelora memecahkan kepala
Semoga terhempas gelombang dan berhenti mengejarku

Bahkan pernah kucuri sehelai rambutnya
Aku tanam di depan pintu jelas ada maksudnya
Setiap pagi aku langkahi agar dia yang terjerat
dalam bayang-bayanganku

Mungkin aku telah keliru mencoba melupakannya
Kalah dengan semua suara-suara yang menghujat
Walau jauh di dasar hati masih aku simpan senyumnya
Bagaimanakah? Harus bagaimana?

Biarlah aku diam di tengah gelombang
Aku tunggu tetesan embun, kuhirup sampai tuntas
Bayanganya melompat-lompat, bermain dalam fikiran,
bermain dalam impian

Mungkin aku telah keliru mencoba melupakannya
Kalah dengan semua suara-suara yang menghujat
Walau jauh di dasar hati masih aku simpan senyumnya
Bagaimanakah? Harus bagaimana?

Rasakah yang harus kubela? 
Atau suara mereka?
Biarkanlah aku sendiri
Aku perlu waktu untuk merenung,
berfikir, dan kemudian memutuskan
»»  READMORE...

Senin, 22 Oktober 2012

Senyumlah, sayangku...

Ini adalah awal dari tangga impian, sayang...
Senyumlah...
:)
Tak usahlah lagi kau pikirkan tentang keputusan itu, meski tak mudah...
Sudah tak perlu lagi kau tangisi kisah itu...
Senyumlah...
Meski kau sendiri, aku yakin kau pasti bisa, sayang...
Aku sayang padamu...
Senyumlah...
:)
Kini kau sendiri, berjalan di atas trotoar kehidupan.
Jangan takut, aku selalu mendukungmu, sayang...
Allah selalu melindungimu..
Senyumlah...
Aku ingin kau tetap ceria seperti dulu..
:)
Sayangku,
:*
Aku kangen...
he he he
:P
Hehmmm....
Sayang,
coba lihat kau sekarang...
Kau sekarang sedang belajar berjalan sendiri...
Semangat ya, sayangku....
Em...
Ketika keputusan itu jatuh begitu saja di pagi - pagi buta..
Kau tau air mataku pun berseluncur di pipiku..
Ah, aku bukan menangisi suatu kesakitan...
Aku bahkan trenyuh, karena kisah yang dituliskan Allah begitu indah...
Aku masih ingat betul impian kecintaanmu ketika itu..
Kau ingin jilbab itu kan?
Kau ingin kitab itu kan?
Kau ingin pengajian itu kan?
Kau ingin pondok itu kan?
Sungguh, aku yakin itu menjadi arang dalam sekam, dalam hatimu yang terdalam..
Aku paham, kau masih menyimpan cinta itu...
Hingga kau berada dalam kepayahan dan mengalir bersama arus sungai..
Kini arus sungai itu harus terhenti.
Mau tak mau.
Meski terasa seperti terhempas di bebatuan karang yang tajam.
Tapi kini kau akan belajar bangkit dari sungai itu, dan kembali mengejar impianmu...
Sayangku,
Maafkan aku yang dulu mengajakmu mengalir dalam arus itu..
Aku akan melepasmu pergi mengejar impianmu...
Aku mencintaimu dalam diam...
Senyumlah..
:)
Sayangku,
Jangan menangis lagi...
Meski ketika kau belajar berjalan kau juga harus belajar keseimbangan...
Keseimbangan tanpa alas kaki..
Sayangku,
Senyumlah....
:)
Meski kini kau tak punya apa pun..
Meski kini kau harus menguras isi perut untuk mendapatkan isi perut esok pagi...
Meski kini kau dalam kepayahan sendiri...
Bahkan saat ini ketika baru saja kau bangkit dari hempasan arus sungai itu..
Percayalah, sayangku....
Aku sayang kamu....
Aku selalu mendoakanmu, meskipun aku diam...
Senyumlah...
:)
Sayangku,
Jangan kau ratapi laptopmu yang rusak,
Jangan kau ratapi hapemu yang rusak,
Jangan kau ratapi nasib isi dompetmu,
Jangan kau ratapi nasib proposal skripsimu,
Jangan kau ratapi semua ini sebagai suatu pesakitan lanjut..
Ini sama sekali bukan kesedihan, sayang...
Ini adalah jawaban dari do'amu...
Bukankah kau berdoa setiap hari :
"Ya Rabb, ingatkan apa bila hamba lupa... Tegurlah apa bila hamba khilaf... Tunjukan jalan-Mu, tuntun langkah hamba menuju-Mu"
Ya, mungkin itulah pertanda dari Allah, sayang...
Allah sedang mengingatkanmu,
Allah sedang menegurmu,
Maka,  bersabarlah sayangku....
Allah pasti juga akan menuntun dan menunjukan jalan untukmu...
Percayalah, sayang..
Usap air matamu..
Senyumlah...
:)
Aku mencintaimu, setulusnya....
Love you, sayang...
:*
Fighting!
Ini adalah awal dari tangga impian.



Your lovely heart,
Syifa
»»  READMORE...

Minggu, 14 Oktober 2012

jika esok tak bersama


Kawan, ketika suaraku tak semerdu hari lalu, apa masih betah kau bercengkrama bersamaku? 

Mungkin saja jenuh mendengar nyanyianku. Atau mungkin malah bosan dengan wujudku. Kawan, akan aku katakan dengan nada yang manja, berbisik pada telingamu, mengusap lembut jemarimu, atau mengelus punggungmu seperti aku memanjakan anak kecil..... Bahwa aku mungkin tak selamanya berada di sini, di sisimu, kawan. Tak mungkin aku selalu ada menyapamu dengan teriakan kecil yang manja. Tak mungkin aku selalu ada tertawa mendengar guyonanmu yang unik dan menggemaskan. Tak mungkin selalu ada untuk membuatkanmu teh anget ketika kamu sedang sakit. Tak mungkin selalu ada menemanimu membuat proposal. Tak mungkin selalu ada merengek manja minta untuk diajari sesuatu. Tak mungkin... Tak mungkin.... Tak mungkin.... 

Kawan, sungguh teramat berharganya persahabatan yang terjalin ini. Hingga suatu saat aku tak lagi merasakannya, cerita ini akan aku tulis, karena tak mungkin aku dongengkan semuanya ke seluruh pelosok negeri. Kawan, mungkin saja kau tak berkenan jika kujadikan tokoh utama dalam secerita kisahku. Maaf kawan, tak ada surat ijin, hitam di atas putih atas hal ini.

Ketika aku merajutnya, kau mungkin masih tertidur pulas, menikmati dedongengan mimpi yang mungkin jauh berbeda dengan mimpiku semalam. Kawan, rajutan kisah bersahabatan ini akan aku kenakan hingga kelak aku memiliki anak cucu, karena sejarah tidak boleh dihilangkan. Atau aku akan memuseumkannya dalam etalase kaca yang indah, siapa saja yang melihatnya akan merasa ingin mencicipinya. Aku tahu, Allah telah merencanakan sesuatu untukku dalam waktu dekat ini, dan sayangnya, aku tak tahu rencana apa itu. Kawan, mungkin saja rajutan ini belum sempurna, maaf jika tak mampu tangan ini menyempurnakannya....

Untukmu, sahabatku
»»  READMORE...

Rabu, 10 Oktober 2012

aku pertaruhkan semuanya


Lama tak kutuliskan tentang hidupku (lagi) semenjak anganku runtuh (saat itu), sudah setahun lebih. Begitu dalam kurasakan sebuah keterpurukan. Ketika aku bertahan bersandar pada satu pohon, nyatanya pohon itu tidak berkenan menyanggaku, aku terjatuh. Hingga akhirnya ditengah hempasanku di jurang pesakitan, aku ingin menunggangi sebuah permadani yang bisa membawaku terbang dan bersembunyi di sebuah hutan, hingga kelak aku keluar dari hutan itu dengan rupa rupa baruku yang lebih siap untuk ‘hidup’. 

Namun, sayang, kedua pahlawan yang telah membesarkanku tidak mengijinkan aku menunggangi permadani dan masuk ke dalam hutan itu. Aku masih tergolek di jurang pesakitan. Sesekali mengesot dan berpegang pada rumput teki, berjinjit di atas tunggak pohon jati untuk mengintip angkasa yang memantulkan bayang hutan rindang. Hembusan angin kuhirup perlahan, merasakan hempasan aroma dari hutan itu, membuatku sedikit merasakan nuansa di dalamnya dan membayangkan aku berada di sana. Berbulan – bulan aku di situ, melakukan rutinitas itu, tanpa ada yang paham bahwa aku ingin sekali keluar dari jurang itu dan menjadi bagian dari penghuni hutan itu.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, bayang hutan itu semakin jelas kulihat, rimbun pepohonan itu semakin membuatku ingin berlari ke arahnya. Sebelum angka tahun berganti walau hanya satu digit, aku merasakan suatu keteduhan di tempat dimana aku terduduk dalam jurang. Kutengadahkan wajah sayuku, mendapati sebuah pohon rindang melambai ke arahku, memayungiku dari terik mentari. Aku seperti mendapati sebuah  bayang nyata hutan itu, meskipun pohon itu tidak serindang pohon – pohon yang ada di tengah hutan sana, dan juga tidak sekokoh pohon yang dulu menjatuhkanku. Kuulurkan sulurku, membiarkan aku dan batang pohon itu berlilitan, hingga aku bisa merasakan nuansa hutan yang sesungguhnya. Hingga akhirnya di tengah perjalananku berbelit dengan batang pohon itu, di antara cabang – cabang itu, aku berpapasan dengan sulur – sulur lain yang lebih dulu melilitnya dan bahkan yang baru saja mulai melilitnya. Aku dan mereka saling mencari tempat untuk melilit. 

Ah…. Tuhan….Begitu sulit jalan ini kutempuh. Aku tak mungkin berebut dengan mereka. Aku tak mungkin serakah. Namun aku tak mungkin mampu berbagi tempat, jika hanya dengan sejengkal ruas pun aku akan menggantung di udara tanpa ada yang menyangga. Tuhanku…. Aku terlanjur melilit di sini, apa mungkin aku berbalik arah untuk melepas lilitanku?? Tuhanku, maafkan aku… Aku yang lengah… Aku yang telah bodoh, hanya karena kecintaanku akan sebuah impian untuk merasakan hutan itu, aku pertaruhkan semuanya… 

Allah, aku percaya bahwa tidak ada yang tidak mungkin, dan Engkau selalu menyayangiku.. Namun aku telah berdosa besar. Aku telah salah jalan. Untuk menggapai cinta-Mu melalui hutan itu, aku menyemai cintaku untuk membelit pohon ini yang nyatanya mempunyai banyak cabang bersulur yang membuatku tak bisa bergerak. Allah, maafkan aku…. Mungkin Engkau cemburu, hingga Kau tunjukan betapa banyak sulur – sulur itu melilit pohon yang kulilit. 

Maafkan aku…. Allah, jika ini adalah pohon yang tepat untukku melanjutkan langkah, ijinkan aku mencari tempat di sini untukku melilit tanpa ada sulur lain. Tapi jika bukan pohon itu tempatku, maka bantulah aku berbalik arah melepas lilitan yang terlanjur erat ini, aku tak mau menggantung di udara mobat mabit tertiup angin tanpa penyangga. Dan kepada para sulur itu, maafkan aku yang pernah serakah mencari tempat untukku membelit melanjutkan perjalananku. Maafkan keserakahanku.

Kini, bukan kepada pohon manapun aku memapankan diri. Aku ingin kembali pada kecintaan impian yang dulu. Entah bagaimana pun caranya. Telah lama aku membeku di sini.

Rinda Asy Syifa

»»  READMORE...

Minggu, 07 Oktober 2012

Aku Tak Akan Menggadaikan Cinta-Mu


Wahai Tuhanku, Allah...
Mungkin tak pernah kupahami sebelumnya
Tentang apa apa yang telah Kau ciptakan untukku
Hanya untukku, spesial untukku.

Ketika semua ini hanya tampak seperti sebuah bola salju
Yang dingin menyenangkan dan terlempar pecah di hadapku
Itu hanya permainan belaka yang tak pernah ada maksud baiknya
Aku yang memunguti bola-bola salju yang tercecer itu
Terkadang merasa beku di ujung jemarianku

Tak mungkin
Tak mungkin
Dan tak mungkin

Terus-terusan saja aku menelan kosakata TAK MUNGKIN
Bukan karena aku tak percaya bahwa Kau Maha Berkehendak
Namun, ini adalah perkara TAK MUNGKIN yang lain

TAK MUNGKIN kau ridhoi aku memunguti bola-bola salju itu
Bahkan melemparkannya kembali ke tempat asal
Hingga terjalin lelemparan yang menyenangkan
Yang seperti menimang-nimangku dalam buaian fana!

FANA! Dan FATAMORGANA!!

Allah, Kau yang sebut Tuhanku..
Tidak pantaslah aku memohon yang terlalu lebih dari ini.
Yang aku tak pernah menghitung jumlah dari semua itu
Rumus mana yang harus kugunakan, tak ada

Jika apa yang Kau beri adalah sebagai wujud CINTA-MU padaku
Etisnya aku MEMBALAS CINTAMU
Memang Kau tak mengirimkan sekuntum bunga mawar atau sepucuk surat cinta
Namun lebih dari itu
Kau mengirimkan SURAT CINTA dengan sabar
Bahkan aku mengacuhkannya!!
Surat cinta yang kau titipkan pada seorang lelaki tampan itu
Beliau yang tersemat gelar Al Amin

Sungguh, Allah...
Aku telah mengacuhkan surat cinta itu
Maaf..
Baru aku sadari, bahwa KAU MEMANG BENAR CINTA...!
CINTA-MU yang membelaiku selama ini
Hingga aku bisa merasakan banyak rasa
Malahan, apa yang kau beri sebagai wujud CINTA-MU itu
Aku jadikan alat untuk mencintai MAKHLUK CIPTAAN-MU

APAKAH KAU CEMBURU, WAHAI ALLAHKU...
Jika benar Kau cemburu,
Jalan mana yang harus aku tempuh
Untuk menukar rasa cemburu itu dengan segenggam ampunan

Entah apa yang kuyakini selama ini
Imanku yang seolah seperti gelombang tsunami yang tak menentu
Maaf jika cinta-Mu seolah tergadaikan
Tapi sungguh,
Aku ingin
AKU TAK KAN MENGGADAIKAN CINTA-MU


»»  READMORE...