Rabu, 28 November 2012

Saa, Sudah Mati

Asa masih saja menatap layar itu, meskipun entah berapa ratus kali jemarinya menekan tut paling pojok dan kemudian enter. Hanya itu yang dilakukannya. Bola matanya terpaku pada satu titik. Seolah tangan kanannya sudah hafal denah keyboard komputer usang, dia hanya mempekerjakan jari jempol dan jari telunjuknya untuk memencet del kemudian enter, del – enter, del – enter, del – enter, begitu seterusnya. Satu kedipan, berarti sepuluh kali del – enter. Sedangkan tangan kirinya menyangga dagunya yang kecil mungil melengkapi wajahnya yang bulat dan berkulit hitam. Kedua alis matanya yang tebal mengernyit ketika jari telunjuknya beraksi, kemudian berjungkit ketika sang jempol menghentak tut enter. Selalu begitu. Sorot matanya pun berirama demikian. Menyorotkan suatu keheranan dan rasa penasaran yang tinggi. Hanya saja, bibirnya tersenyum manis, meskipun tak pernah ada yang memuji kecantikannya yang memang alakadarnya. Ya setidaknya senyum itu cukup manis untuk seorang Asa – ketika sendirian. Sungguh ekspresi yang tak mudah untuk ditelaah.

Jarum panjang menunjuk angka lima, sedangkan jarum pendek di ambang antara sembilan dan sepuluh. Sudah hampir satu jam Asa duduk di kursi samping tempat tidurnya, di depan meja komputer pemberian ayahnya ketika ulang tahun ke-20 beberapa bulan yang lalu. Sesekali Asa menggoyang kaki, mengucek mata, menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sama sekali. Entah mengapa Asa begitu mementingkan pekerjaannya itu. Hanya memencet del kemudian enter. Mengapa tak ikut saja pergi bersama Sandi yang selalu menemaninya? Sandi, si pengirim folder yang kini memonopoli seluruh antusias Asa.
                                         
Satu jam. Dua jam. Tiga jam. Tengah siang, Asa masih saja berkutat dengan keasyikan yang tidak jelas. Memasuki jam keempat. Asa melupakan satu hal, pesan dokter beberapa hari yang lalu. “Kamu boleh duduk lama, paling lama satu jam. Jalan – jalan lah sebentar atau merebahlah, barang lima menit. Setelah itu boleh duduk lagi. Dan menaiki tangga tidak boleh lebih dari sepuluh anak tangga berturutan”. Braaaakkk!!! Asa menggebrak meja komputer itu sembari mencoba bangkit dari tempat duduknya. Kakinya memang sudah siap untuk menyangga tubuhnya, menapak pada lantai keramik coklat. Namun tidak dengan badannya. Mulutnya merintih. Tangan kanannya berpegang pada sudut komputer. Sedang tangan kirinya membungkam mulutnya sendiri, menahan tangis. Ada sebentuk rasa yang menghujam di sekujur tubuhnya. Dimulai dari mencengkeram punggung, menjalar menimpa ke pinggang, kemudian menghimpit diafragma dan rongga dada, nafasnya mulai tersengal, tenggorokannya tercekik. Badannya belum tegak betul, namun Asa tak kuasa lagi untuk bergerak. 

Keringat dingin mulai menghiasi tubuhnya. Wajahnya yang hitam memerah, dengan guratan urat leher yang semakin nampak. Matanya terpejam, menahan sakit yang membuatnya tak bisa bergerak pada posisi setengah duduk setengah berdiri. Dadanya semakin menyempit. Sementara otaknya masih saja dipenuhi dengan pekerjaannya tadi, memencet del dan enter. Di tengah kesakitan itu, diraihnya kabel yang masih tertancap pada stop kontak listrik di samping meja. Ketika tangan kirinya menggapai kabel, rasa sakit itu semakin menggerogotinya. Yang ada hanyalah bayangan sebentuk folder. Folder yang dia belai dengan del – enter.  Teringat dulu ketika Sandi mengirimkannya, dengan bingkisan kotak kecil berwarna biru. Entah bagaimana awal mulanya dulu Asa menerima kiriman itu. Dan dengan folder itulah Asa melanglang buana, mengeksplor segalanya, menulis apa pun yang ingin dia tulis, membaca apapun yang ingin dia baca. Setiap hari yang ada pada layar komputernya hanyalah folder itu. Asa mengolahnya dengan segala doa bahwa folder itu lah tempatnya menyusun dokumen – dokumen hingga menjadi sebentuk tangga menuju sebuah buku yang akan best-seller, difilmkan, dan membawanya pada persemayaman yang indah. Namun kini, entahlah. Semacam virus sudah menjajah hampir setiap dokumen dalam folder itu. 

“Sa, sudahlah, untuk apa kau melakukannya? Bukankah folder itu masih kau buka setiap kau ingin meluapkan segala uneg-unegmu? Ketika kau ingin mendengar alunan merdu dari satu-satunya mp3 yang bisa segalanya? Ketika kau bosan dengan rutinitas dan mengedit foto-foto itu? Ketika kau menarikan jemarimu seirama suara hatimu? Sudahlah, Sa...” 

“Tidak! Folder itu sudah rusak!!”
“Tapi, Sa... Lihatlah, nyatanya folder itu tak bisa lenyap dari Recycle bin. Hanya berpindah dari My Document ke Recycle bin, kemudian otomatis terRestore. Benar begitu kan? Nyatanya itu tak bisa hilang, Sa.. Itu berarti kau masih...”

“Stop! Aku lelah dengan semuanya! Justru itu yang membuatku lelah, mengapa folder itu tak bisa hilang. Menghapusnya, membuatku lupa, dan sekarang aku menjadi pesakitan tak bisa bergerak seperti ini. Puas kau!”

“Sa, dengarkan aku. Sisi positif tetap ada, tanpa virus, janganlah menjudge semacam itu.”

“Tau apa kau?! Hal yang positif di folder itu, memang ada, memang aku butuh, tapi jika aku turuti itu maka sama saja aku menshare semuanya, dan membuat orang lain jatuh pada pesakitan yang sama. Bukankah dengan begitu aku jahat??! Aku jahat kan?? Kau senang aku menjadi penjahat?”

“Sssstt....jadi kau menyiksa dirimu duduk berjam-jam hingga seperti ini hanya untuk menghapus satu folder itu agar tak menyebar pesakitan? Mungkin lebih baik kau pilih file – file nya dahulu, jangan kau hapus selu....”

“Diaaammm!!!”

“Saa...!!”

Asa menarik kabel itu, terlepas dari stop kontak. Layar komputer mengedip, menghitam, padam, mengedip lagi, menghitam lagi. Kemudian muncul wallpaper yang belum sempat dia ganti, siluet dua wajah, dengan hias tepi berupa lengkungan tulang belakang Asa yang sudah ditanami batangan logam agar tak menghimpit paru – parunya. Muncul tulisan “Saa”. Clap! Sudah mati. Bersenyawa dengan Zombie.



suatu tempat, suatu saat
Syifa

»»  READMORE...