Sabtu, 15 Desember 2012

Ini Lebih Dari Itu

Malam baru akan dimulai. Piring, sendok, gelas, dan semua peralatan makan malam sudah dirapikan setelah dicuci dengan sabut kelapa berlumur abu gosok. Meskipun hanya piring blek tiga biji, sendok berwarna kusam dengan ukiran kecil di ujungnya, tiga pula jumlahnya, gelas bening yang sudah kecoklatan di bagian dasar dan pinggirnya, jumlahnya dua, dan sebuah gelas yang lebih besar dipenuhi semacam relief lonjong, mereka menyebutnya gelas cap jempol. Semua sudah tertata rapi di atas dipan kecil pojok ruangan.
Rembulan belum sepenuhnya membuka wajah. Hembusan angin malam membelai daun pisang di pelataran, bergoyang, mempermainkan pandangan rembulan yang tengah mengintip setiap rumah di Desa Bendrowo. Hanya rumah-rumah yang memiliki beberapa genting transparan saja yang bisa diintip oleh rembulan. Dan juga satu-satunya rumah di desa itu yang masih lengkap dengan gedhegnya, rembulan bisa mengintip melalui celah anyaman gedheg itu, semacam bleketepe. Setiap malam, rembulan menyimak baik-baik semua suara yang terdengar dan semua gerakan yang terlihat, detail, seperti sedang menonton sinetron yang lebih panjang episodnya daripada Tersanjung.
“Pak, apa tidak sebaiknya kita pinjam uang dulu ke Yu Dah?”
“Untuk?”
“Apa lagi kalau bukan Si Bejo?”
“Sudah berapa kali aku katakan, Bejo tidak butuh itu.”
Dua purnama telah berlalu. Hanya percakapan itu yang terdengar. Tidak ada permulaan yang jelas, apalagi akhirannya. Selalu diakhiri dengan “Bejo tidak butuh itu”, kemudian rumah itu berubah menjadi semacam rumah mati. Sepi. Tanpa percakapan lagi. Hanya beberapa desahan di tengah tidur. Hingga pagi. Hingga rembulan memindahkan chanel ke sinetron yang lain, dan kembali ke chanel ini di malam hari.
Begitulah Desa Bendrowo. Sebuah desa kecil di tepian Kali Grogol. Sudah beberapa hari ini Emak tampak memiliki kantung mata yang lebih besar, seperti ibu kangguru yang tengah memanjakan anaknya. Bukan lantaran sedang bertengkar dengan sang suami, tetapi setiap kali matanya terpejam dalam kantuk, Emak selalu bermimpi hal yang sama setiap malam. Mimpi tentang percakapan itu. Ya, percakapan yang didengar oleh rembulan.
***
“Mak, pokoknya Bejo nyuwun dhuwit!”
Le, Mak sudah mintakan ke Bapak. Belum diparingi.”
 “Mak, Bejo sudah kelas tiga. Romlah, Gustan, Jibron, Dahlan, Totong, semua sudah punya. Bu Guru bilang, pelajaran besok sudah tidak butuh yang seperti ini. Besok sudah beda pelajarannya, Mak.”
“Lalu?”
“Ah, Emak dulu tidak sekolah, mana paham!”
“Jelaskan saja pada Bapakmu, Bapak pasti bisa lebih paham daripada Emak. Sekarang berangkatlah dulu, nanti telat.”
Emoh sekolah!”
Baju putih yang baru saja disetrika itu dihempaskannya ke meja. Iker-ikernya tampak mengelupas kehitaman karena terlalu lama ditindih dengan mawa, menutupi celana merah yang sudah terlebih dahulu selesai disetrika. Perempuan itu menggelengkan kepala. Sudah bukan sekali ini saja Bejo seperti itu. Dengan bujukan ini itu Bejo dengan terpaksa melangkahkan kaki menyeberangi Kali Grogol menuju ke sekolahnya yang baru.
Semenjak Pak Lurah memutuskan untuk menindaklanjuti surat permohonan penggabungan sekolah itu, Bejo menjadi seperti ini. Sekolah Bejo, SD Bendrowo, satu – satunya SD yang ada di desa itu, digabungkan dengan SD Wuruwetu. Alasannya cuma satu, SD Bendrowo “kehabisan” murid. Hingga akhirnya SD Bendrowo diubah menjadi pabrik tahu, dan semua muridnya dipindahkan ke SD Wuruwetu, di seberang Kali Grogol.
Sebenarnya pada mulanya Pak Lurah sudah diingatkan oleh semua warga untuk tidak menerima permohonan penggabungan sekolah itu. Bagaimana tidak, SD Wuruwetu setiap tahun ajaran pasti masuk koran, bukan karena prestasi gemilang, tetapi karena tawuran, semacam anak SMU di Jakarta. Meskipun memang SD Wuruwetu menyediakan fasilitas yang lebih memadahi daripada SD Bendrowo, pengajarannya pun berbeda, lebih “kota” daripada SD Bendrowo. Entah bagaimana ceritanya SD itu terkenal karena fasilitasnya yang lengkap dengan biaya relatif murah, sekaligus terkenal karena ulah muridnya yang sepadan dengan anak SMU.
“Sudahlah, Pak. Untuk apa mempertahankan SD Bendrowo? Itu bekas Sekolah Rakyat, guru-gurunya pun hanya penduduk yang suka rela menyumbangkan pikiran dan tenaganya yang kebetulan lebih banyak tahu daripada penduduk pada umumnya. Lihatlah, muridnya kini setiap kelas rata-rata tinggal empat sampai enam anak. Bukankah akan lebih ngirit jika digabung saja dengan SD Wuruwetu yang jelas-jelas sudah lebih mapan? Guru-gurunya nanti bisa kolaborasi mengajar di kelas, dijamin tidak ada yang nganggur. Muridnya pun bisa bergaul dengan masyarakat yang lebih luas, lebih beragam, tidak berkutat dengan lingkup desa ini saja. Apalagi SD Wuruwetu sekarang sedang dalam proses pemasangan internet masuk desa, pastilah itu mendukung pengembangan siswa didik. Bukankah begitu, Pak?”, Demikian Pak Redjo, kepala sekolah SD Wuruwetu, membujuk Pak Lurah yang tidak lain adalah penanggung jawab SD Bendrowo.
Pak Lurah seperti diberondong bujukan Pak Redjo, apalagi ditambah dengan usulan konsep usaha untuk mengubah SD Bendrowo menjadi pabrik tahu yang bisa meningkatkan pendapatan warganya. Diadakanlah musyawarah dengan warga. Dengan segala keuntungan yang bisa diraih, baik untuk murid, orang tua, guru, maupun warga yang sudah tidak menyekolahkan anaknya lagi. Warga pun luluh dan menyetujui penggabungan sekolah itu.
“Lurah macam apa itu? Masih mending aku tidak mengumpatnya. Aku memang tidak berpendidikan,  goblog, tidak tahu apa-apa, tapi aku tahu mana kepentingan, kebutuhan, dan keinginan. Menukar moral dengan semua itu, yang hanya membanggakan diri karena lebih menjanjikan masa depan, itu katanya, entah buktinya.”
“Kita bisa berbuat apa, Pak? Lha wong cuma warga biasa. Aku ingin setidaknya Bejo dapat lebih lama bersekolah dibanding kita dulu, lulus SD, syukur-syukur bisa ke SMP atau SMU.”
“Aku tidak melarang Bejo bersekolah di SD Wuruwetu. Tapi, satu syarat, aku tidak akan memenuhi permintaan Bejo.”
“Pak, bukankah itu sepele. Kasihan Bejo, cuma dia yang belum punya. Teman-temannya yang dari sini pun sudah punya itu, kemarin aku lihat Yu Dah membelikan itu buat Gustan. Kalau belum ada uang, kita bisa pinjam dulu. Tapi bukankah itu tidak mahal, Pak?”
“Kalau aku ijinkan, kita tidak perlu pinjam uang. Pesanan legen sedang laris manis. Tapi bukan itu masalahnya.”
“Anak satu, mau maju saja kok dipersulit.”
“Mau maju? Dipersulit? Aku lebih senang Bejo yang dulu, sebelum pindah ke sekolah itu.”
“Itu karena Bapak tidak menuruti permintaannya, itu sebabnya Bejo sering marah-marah, bolos sekolah, mbangkang.
“Kau pikir aku tidak tahu seperti apa teman-teman baru Bejo? Lihat Gustan, anak Yu Dah, sudah dituruti kemauannya pun masih sering bertingkah begitu. Romlah, Jibron, Dahlan, Totong, semua pun sama. Baru tiga bulan mereka pindah ke sekolah itu. Tapi apa hasilnya? Memang mereka menjadi lebih pandai, lebih banyak tahu, tapi sikap mereka nol besar. Bu Rumyati, guru dari SD Bendrowo yang katanya bisa mengajar di Wuruwetu, nyatanya kini goyang kaki di rumah sambil menjaga warung. Pak Puguh pun begitu, sekarang malah sibuk dengan pabrik tahu.”
“Bapak dendam?”
“Tidak. Beginilah, aku cuma bisa bicara di belakang. Bicara di depan, toh tidak ada yang mempedulikan, hanya orang kampung tak berpendidikan. Dulu tidak dididik untuk makan bangku sekolah, itu nggragas.”
Ya wis, sekarang makan dulu saja, Bejo sudah pulang.”
“Katakan pada anak itu, mulai besok pagi kalau masih kluyuran sampai maghrib, tidak akan ada jatah sangu. Kemarin Pak Hj. Rosidi lapor, Bejo sudah seminggu tidak berangkat ngaji.
***

Hari berganti hari, masuk dalam hitungan minggu dan bulan. Musim ulangan umum hampir tiba. Dimana-mana dipasang tulisan “jam belajar masyarakat 19.00-21.00”, di setiap tikungan, di samping jembatan, di pojok kantor kelurahan, di depan masjid, di bawah pohon pinggir jalan, bahkan di depan warung. Seperti sedang latah, tulisan itu tiba-tiba saja subur seperti jamur, tumbuh di satu tempat maka akan tumbuh juga di tempat lain, hingga cuaca berubah dan musnah begitu saja.
Matahari baru saja pergi, Bejo pun baru saja pulang dari surau. Sarung kusut yang sudah dijahit berulang kali di bagian pinggirnya itu digantungkannya di belakang pintu. Peci kecoklatan pemberian Bapaknya ketika ulang tahun ke tujuh itu diletakan di samping tumpukan bukunya. Ada sebuah Iqra’ menyelip di bagian atas peci itu, seperti kebiasaan para bapak yang berangkat tahlilan dan membawa buku tahlil kecil diselipkan dalam peci. Di samping tumpukan buku itu ada bumbung kecil yang dipenuhi dengan pensil kayu lengkap dengan karet penghapus kecil di bagian atasnya, ada beberapa yang karet penghapusnya sudah aus lantas diikat karet gelang yang menghitam bagian luarnya karena digunakan untuk menghapus. Bejo menghitungnya, sepuluh pensil. Tanpa ganti baju, Bejo menghampiri Emaknya di dapur sedang menyiapkan makan malam. Sudah beberapa minggu ini Bejo tidak lagi memberontak.
“Mak, minggu depan THB”
“Sinau, Le.”
“Tapi kapan Bejo beli pulpen, Mak? Cuma Bejo yang belum punya.”
“Pakai petelot dulu, Le. Bapak bilang, besok kalau kamu sudah paham, kamu bisa beli apa saja yang kamu mau, bukan cuma pulpen, mesin tik atau komputer seperti yang ada di kantor kelurahan pun bisa.”
“Mak, kapan Bejo paham? Malahan Bejo tidak tahu harus memahami apa.”
Petelot yang Bapak beri, sudah dihitung?”
“Sepuluh.”
“Bukan jumlahnya, Le. Coba nanti diperhatikan lagi. Kenapa Bapakmu setiap bulan selalu membelikanmu petelot, padahal Bapak bisa saja membelikan pulpen seperti yang kamu minta sejak pertama kali pindah ke sekolah yang baru. Bapak tidak bermaksud membuatmu ketinggalan pelajaran, buktinya nilai-nilaimu tetap baik, malah kadang lebih baik daripada teman-temanmu yang punya pulpen. Asalkan kamu ingat kata bapak, ini lebih dari itu. Pahami perbedaan petelot dan pulpen. Sekarang bantu Emak menyiapkan makan, sebentar lagi bapakmu pulang.”
***
Rembulan hampir sempurna membuka wajah, entah purnama yang keberapa. Udara dingin menggigit seluruh tulang. Suara aliran Kali Grogol terdengar seperti backsound tengah malam bersama dendangan pepohonan bercinta dengan sang bayu. Bejo bersembunyi di balik selimut jariknya. Liburan kenaikan kelas lima. Bejo masih belum bisa menjelaskan tentang mengapa Bapak belum membelikannya pulpen, sama seperti milik teman-temannya. Tahun depan adalah tahun terakhir Bejo duduk di bangku SD, Bejo ingin sebelum ujian kelulusan Bejo sudah memiliki pulpen. Pikirannya melayang jauh, masih terngiang kata-kata orang tuanya, pahami perbedaan pensil dan pulpen. Sulit untuk Bejo pahami, dulu ketika masih bersekolah di SD Bendrowo, tidak pernah orang tuanya memperlakukan begitu.
Sementara itu, Bapak dan Emak sudah terlelap merengkuh dalam jarik kawung. Terbuai dalam mimpi penuh hangat. Emak kini paham, Bapak tidak pelit, tapi itulah caranya mendidik Bejo, Bapak khawatir Bejo dimanjakan oleh segala iming-iming instan dan modern di Wuruwetu. Moral yang tergadaikan oleh segalanya. Ada rahasia yang mereka sembunyikan, segepok pensil dalam karung gandum, ditindih dibawah kasur. Yang hanya akan dibuka setiap awal bulan, dan berikan pada Bejo satu batang. Seperti hanya berpindah tempat saja, di kamar Bejo, bumbung tempat pensil itu sudah ada enam buah. Semua berjajar di samping tumpukan buku, berbaris rapi di depan sebuah piala kecil bertuliskan “Siswa Teladan tingkat Kabupaten”.  Rembulan tersenyum, mengintip ketenangan, entah sampai kapan dia akan menikmati episod yang tak pernah selesai itu.


(Naskah Lomba Cerpen Himpunan Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNY - 2012)

2 komentar:

  1. sy kebingungan mau follow blog mu....,, jdi member blog ini gmn???

    BalasHapus
  2. hohoho...aku juga nggak tau caranya.. haha
    #PARAH
    :D

    BalasHapus