Suara semakin berdengung. Berdengung.
Berdengung. Kemudian berdenging. Menutupi semua pandanganku. Memenuhi semua
indera perasaku. Herannya, indera perasaku justru menikmatinya, namun otakku
memberontak. Jika kau dengar suara itu, coba rasakan. Rasakan, jangan bosan.
Rasakan saja. Buka mata, pandangilah, maka kau akan melihat kehampaan, kosong,
bukan warna putih, bukan bening, bukan mejikuhibuniu, bukan hitam atau abu-abu.
Tidak ada definisi warna untuk itu. Suara itu lebih besar daripada bumi, lebih
luas dari pada samudra, lebih tinggi dari pada puncak Mahameru. Suara itu lebih
empuk dari tahu godhog, lebih keras daripada batu, lebih lembut dari pada krim
susu, lebih kasar daripada jalan berbatu. Suara itu, masih berdengung.
Aku menyebutnya Ponari. Ya. Ponari.
Bukan bocah kecil yang merengkuk di gendongan bapaknya dan asik mencelupkan
sebuah batu ke dalam gelas – gelas yang mengantri. Bukan itu. Ponari, adalah
sebuah pertanyaan, sekaligus jawaban. Ceritnya, dulu Ponari datang dari suatu
tempat yang dapat dilihat tapi tak pernah dapat dijangkau. Entah dimana.
Orang-orang hanya sebatas itu memberi penjelasan. Tanyakan saja pada bapak ibu
gurumu, atau pada dosenmu, atau pada pak ustadz, pak kyai, bahkan pada dukun,
orang pintar, sarjana, imuwan, semua pasti akan menggeleng dan berdecak dalam
hati. Hanya ada beberapa orang saja yang tau tentang Ponari. Termasuk seorang
kakek yang tinggal di sebuah gubuk pojok Desa Loren. Ini bukan Loren yang
seorang mama dengan segala kefasihannya membuat pernyataan-pernyataan yang
laris di kalangan pesimistis.
“Mbah, jika boleh saya bertanya”, aku
sama seperti para pemuda itu, yang berbondong-bondong datang ke gubuk ini
dengan telanjang kaki hanya untuk bertanya tentang Ponari. Dan entah darimana
aku tau jalan menuju Desa Loren ini, padahal aku tinggal di pulau yang berbeda.
“Kamu sama seperti mereka. Ponari,
bukan?”, kakek tua itu berdiri dari duduk silanya tepat di depanku bersimpuh. Kakinya
yang kekar seakan mencengkeram lantai tanah yang dingin. Selembar kain yang
menutupi betisnya menyibak, membiarkan aku bisa melihat otot-otot yang kokoh,
seperti akar. Kain itu melilit pinggangnya dan setengah bagian terselampir di
pundak kirinya. Hampir setengah dadanya yang bidang terlihat. Tubuhnya yang
sudah lebih dari seratus taun itu masih tampah kuat. Hanya saja di setiap
lekukan terlihat kecoklatan menghitam. Ya. Penuh daki.
“Iya, Mbah. Sudah dua puluh taun aku
mendengarnya,” aku berkata pelan. Kutundukkan pandangannku yang sedari tadi
mengamati wujudnya. Kupelintir ujung bajuku sendiri. Aku merasakan ketakutan,
entah karena apa.
“Pulanglah,” kakek itu merunduk. Aku
merasakan tangannya yang kekar itu menyentuh pundakku. Keringat dinginku mulai
beraksi. Seolah ada sesuatu yang dingin melebihi es, mengguyur tubuhku. Aku
menggigil.
“Kee...ke....kenaa..ap..appaa?”, suaraku
parau, terbata. Tanganku memeluk kedua kakiku yang kutekuk. Aku meringkuk
kedinginan. Sementara aku tidak melihat lagi kakek itu.
“Ponari sudah jadi milikmu, kau akan
menemukannya sendiri”, suara kakek itu seperti menelusupi gendang telingaku.
Menggelitik bulu-bulu halus di tengkukku. Aku merinding. Dan tiba-tiba semua
menjadi putih. Aku tak melihat apa-apa. Aku geragapan mencari hidungku, aku
berharap aku masih bisa bernafas dengan itu.
***
“Kau ini kenapa? Sudah beberapa hari ini
aku tak mendengar kau menyanyi. Biasanya kau menghabiskan air kolah, sabun,
odol, sambil menyanyi,” Sandi menepuk pipiku, mencubitnya, seperti sedang
bermain dengan anak paud. Aku diam.
“Heiii, halooo?? Ada orang di dalam??”,
Sandi kembali beraksi. Dia memencet hidungku, semakin pesek. Seperti sedang
bertamu dan menunggu tuan rumah keluar dari pintu dan menjabat tangan dengan
sedikit diguncangkan kemudian berpelukan layaknya upacara pelepasan rasa rindu.
Aku tetap diam.
“Yah, suwung dah...”, perempuan berambut sebahu itu menundukkan kepala.
Badannya yang ramping membelakangiku, bersandar di pohon rambutan tidak jauh
dari tempatku duduk. Aku meliriknya dari sudut mata, aku tau dia sedang
menangis. Sayangnya, dia tak tau kalau aku sedang lebih menangis daripada dia,
hanya saja aku diam.
Angin malam kembali merasuki
lapisan-lapisan bajuku. Bintang bermunculan, seperti sedang ada upacara tiup
lilin di kegelapan, bintang itu satu persatu meredup dan terang. Aku menatap ke
bawah, di hamparan luas kegelapan, di sana juga banyak bintang, yang
berwarna-warni. Indah. Aku seperti sedang terbang di antara dua langit. Toh
dulu, kata guruku, ada banyak lapisan langit. Mungkin sekarang aku sedang
berada di kedua lapisan itu. Ops! Bukan aku, tapi kami. Ya, aku dan Sandi, perempuan
yang kuajak kesini sore tadi dan selama tiga jam aku belum memulai pembicaraan
dengannya. Hebatnya, dia begitu sabar, hanya menemaniku duduk diam di bawah
pohon rambutan.
Bukit bintang. Orang-orang di sini
menyebutnya bukit bintang. Mungkin karena di sini adalah tempat strategis untuk
melihat bintang, bukan hanya bukitnya para bintang. Entahlah, aku sendiri tidka
pernah mempermasalahkan namanya. Jangan kau kira pula ini bukit bintang yang
tenar di kalangan pelaku drama percintaan di daerah Jogja. Bukan. Sama sekali.
Di sana mungkin tak akan kau temukan pohon rambutan tempat kami berteduh ini.
Karena ini bukan di sana. Ini adalah tempat dimana aku biasa mengajak Sandi,
bersama teman-temannya, membuat kemah, membuat api unggun, menyeduh kopi diatas
bara api, sesekali merangkai bunga rumput liar yang tumbuh semena-mena. Namun
kali ini tak biasa, tak ada teman-teman Sandi, hanya aku dan Sandi.
“Ponari datang”, tiba-tiba mulutku
mengeluarkan bunyi itu. Aku bahkan tak sadar bahwa otakku memerintahkan mulutku
untuk berucap.
“Kau ini kenapa? Siapa Ponari? Sudah dua
puluh sembilan kali kau mengucapkan itu”, Sandi sedikit berteriak di telingaku.
Aku melihat tangannya yang kecil itu mengampit sebuah pensil dan mencoretkan
garis kecil di atas buku catatan yang sedari tadi kuabaikan.
“Ponari datang. Aku tau. Aku tau. Ponari
datang,” kata-kata itu bagaikan butiran kelereng yang tumpah dari toples.
Menggelinding begitu saja, berhamburan. Sandi menatapku tajam. Sorotan matanya
menembus korneaku, seperti ada sebuah jembatan di sana. Aku melihat sudut
matanya menyempit, kemudian bulu matanya semakin lentik, ada sebuah cairan bening
meluruh. Sandi menangis. Aku menyesal membuatnya menangis. Kututup mulutku
dengan buku catatan.
“Aku percaya itu”, Sandi merengkuhku,
meremas pundakku. Tangannya melingkar ke pinggangku. Wajahnya ambruk begitu
saja di dadaku. Aku mencoba mengatur nafas, aku tak ingin dia tau bahwa degup
jantungku melonjak. Aku tak ingin
mengganggu kenyamanannya dengan suara degup jantungku yang parau. Kubiarkan
wajahnya merangsut di dadaku. Kubiarkan tangannya semakin erat melilit
pinggangku.
Aku merasakan ada suatu kelembutan,
melucuti seluruh rasaku, hingga aku merasa melayang lebih tinggi dan melihat
bintang-bintang yang semakin indah. Nafasku kembali teratur. Aku mengusap
lembut rambutnya. Kukecup. Aroma sampo kesukaannya, aku hafal itu. Wajahnya
bangkit dari pelukanku. Menengadah. Kutatap kedua mata itu, mata yang seperti
ada jembatan menuju ke mataku, mata yang mengeluarkan cairan bening, mata yang
dipagari bulu lentik, mata yang selalu sabar menghadapiku.
***
Mentari baru saja bangun. Sedangkan aku
sudah berada di sini, di tepi koridor. Di sampingku, Sandi. Sudah sekitar
limabelas menit kami di sini, menunggu. Sebuah koper besar di depanku,
sedangkan tas ransel memelukku dari belakang, Sandi membawa tas kecil berwarna
kecoklatan, warna kesukaannya. Pagi itu, kami telah memutuskan untuk pergi.
“Hantaka! Hantaka!”, petugas berseragam
itu meneriakan nama daerah yang kami tuju. Bis yang kami nanti sudah datang.
Aku betulkan gendongan ranselku. Aku melirik Sandi yang tengah membenahi long dressnya. Ah, dia nampak begitu indah
dengan busana itu. Ku ulurkan tanganku. Sandi tersenyum, menyambut tanganku
dengan tangannya. Jemari kami saling berkait. Kulihat cincin bertuliskan nama
kami, ada di jarinya. Cincin yang memiliki kembaran, kembaran itu tersemat di
jariku. Aku sudah lupa kapan terakhir kali kami sehangat ini. Semenjak aku
didatangi oleh Ponari, aku terlalu sering melupakan Sandi, istriku.
Bis Pahala Kencana yang kami tumpangi
segera melaju. Menembus kabut tipis di sepanjang jalan. Aku menatap ke arah
jendela, sedangkan Sandi merebahkan kepalanya di pundakku, nampaknya dia begitu
merindukanku. Kaca jendela sedikit berembun. Membuat buram pandanganku. Nampak
samar di luar sana tampak gundukan tanah yang tinggi, itu Bukit Bintang,
tempatku menemukan Ponari secara utuh. Sandi memainkan jemariku ketika
handphone berdering, itu pertanda bahwa aku lah yang ditugasi untuk membuka
sms. “Hati-hati, eyang... Kami di sini pasti merindukan eyang”. Sms dari
Minten, anak kami satu-satunya. Sandi tersenyum ke arahku, namun cairan bening
kembali menghiasi sudut matanya. Ku peluk Sandi. Kubiarkan dia menumpahkan air
matanya di dadaku.
Bis semakin kencang melaju, hampir
terasa terbang, melewati jutaan jengkal tanah dan lautan. Di tepian jalan sana
aku melihat gubuk kecil, gubuk milik kakek yang menyuruhku pulang beberapa
tahun yang lalu. Kakek yang kukira bisa menjawab pertanyaanku tentang Ponari.
Ya. Ponari, suara mendengung yang telah menutupi seluruh padanganku dan
memenuhi semua indera perasaku. Ponari, yang membuat istriku kesepian karena
aku mengabaikannya, entah berapa tahun. Ponari, yang telah menyebabkan aku
dianggap gila oleh para tetangga. Ponari, kini sudah jinak, tidak lagi menutupi
pandanganku dan memenuhi indera perasaku. Dan Ponarilah yang menyadarkanku,
waktu itu di Bukit Bintang, bahwa aku memiliki istri yang selalu percaya
padaku, meskipun semua orang menganggapku gila. Dan kini, aku pergi,
bersamanya, ke tempat yang nyaman, aman, ke tempat asal mula lahirnya semua
hal, termasuk ponari. Tempat yang bisa dilihat namun tak bisa dijangkau. Kecuali
dengan bis ini.
Pendapa Tedjakusuma, 17 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar