Minggu, 16 Desember 2012

Ponari



Suara semakin berdengung. Berdengung. Berdengung. Kemudian berdenging. Menutupi semua pandanganku. Memenuhi semua indera perasaku. Herannya, indera perasaku justru menikmatinya, namun otakku memberontak. Jika kau dengar suara itu, coba rasakan. Rasakan, jangan bosan. Rasakan saja. Buka mata, pandangilah, maka kau akan melihat kehampaan, kosong, bukan warna putih, bukan bening, bukan mejikuhibuniu, bukan hitam atau abu-abu. Tidak ada definisi warna untuk itu. Suara itu lebih besar daripada bumi, lebih luas dari pada samudra, lebih tinggi dari pada puncak Mahameru. Suara itu lebih empuk dari tahu godhog, lebih keras daripada batu, lebih lembut dari pada krim susu, lebih kasar daripada jalan berbatu. Suara itu, masih berdengung.
Aku menyebutnya Ponari. Ya. Ponari. Bukan bocah kecil yang merengkuk di gendongan bapaknya dan asik mencelupkan sebuah batu ke dalam gelas – gelas yang mengantri. Bukan itu. Ponari, adalah sebuah pertanyaan, sekaligus jawaban. Ceritnya, dulu Ponari datang dari suatu tempat yang dapat dilihat tapi tak pernah dapat dijangkau. Entah dimana. Orang-orang hanya sebatas itu memberi penjelasan. Tanyakan saja pada bapak ibu gurumu, atau pada dosenmu, atau pada pak ustadz, pak kyai, bahkan pada dukun, orang pintar, sarjana, imuwan, semua pasti akan menggeleng dan berdecak dalam hati. Hanya ada beberapa orang saja yang tau tentang Ponari. Termasuk seorang kakek yang tinggal di sebuah gubuk pojok Desa Loren. Ini bukan Loren yang seorang mama dengan segala kefasihannya membuat pernyataan-pernyataan yang laris di kalangan pesimistis.
“Mbah, jika boleh saya bertanya”, aku sama seperti para pemuda itu, yang berbondong-bondong datang ke gubuk ini dengan telanjang kaki hanya untuk bertanya tentang Ponari. Dan entah darimana aku tau jalan menuju Desa Loren ini, padahal aku tinggal di pulau yang berbeda.
“Kamu sama seperti mereka. Ponari, bukan?”, kakek tua itu berdiri dari duduk silanya tepat di depanku bersimpuh. Kakinya yang kekar seakan mencengkeram lantai tanah yang dingin. Selembar kain yang menutupi betisnya menyibak, membiarkan aku bisa melihat otot-otot yang kokoh, seperti akar. Kain itu melilit pinggangnya dan setengah bagian terselampir di pundak kirinya. Hampir setengah dadanya yang bidang terlihat. Tubuhnya yang sudah lebih dari seratus taun itu masih tampah kuat. Hanya saja di setiap lekukan terlihat kecoklatan menghitam. Ya. Penuh daki.
“Iya, Mbah. Sudah dua puluh taun aku mendengarnya,” aku berkata pelan. Kutundukkan pandangannku yang sedari tadi mengamati wujudnya. Kupelintir ujung bajuku sendiri. Aku merasakan ketakutan, entah karena apa.
“Pulanglah,” kakek itu merunduk. Aku merasakan tangannya yang kekar itu menyentuh pundakku. Keringat dinginku mulai beraksi. Seolah ada sesuatu yang dingin melebihi es, mengguyur tubuhku. Aku menggigil.
“Kee...ke....kenaa..ap..appaa?”, suaraku parau, terbata. Tanganku memeluk kedua kakiku yang kutekuk. Aku meringkuk kedinginan. Sementara aku tidak melihat lagi kakek itu.
“Ponari sudah jadi milikmu, kau akan menemukannya sendiri”, suara kakek itu seperti menelusupi gendang telingaku. Menggelitik bulu-bulu halus di tengkukku. Aku merinding. Dan tiba-tiba semua menjadi putih. Aku tak melihat apa-apa. Aku geragapan mencari hidungku, aku berharap aku masih bisa bernafas dengan itu.
***
“Kau ini kenapa? Sudah beberapa hari ini aku tak mendengar kau menyanyi. Biasanya kau menghabiskan air kolah, sabun, odol, sambil menyanyi,” Sandi menepuk pipiku, mencubitnya, seperti sedang bermain dengan anak paud. Aku diam.
“Heiii, halooo?? Ada orang di dalam??”, Sandi kembali beraksi. Dia memencet hidungku, semakin pesek. Seperti sedang bertamu dan menunggu tuan rumah keluar dari pintu dan menjabat tangan dengan sedikit diguncangkan kemudian berpelukan layaknya upacara pelepasan rasa rindu. Aku tetap diam.
“Yah, suwung dah...”, perempuan berambut sebahu itu menundukkan kepala. Badannya yang ramping membelakangiku, bersandar di pohon rambutan tidak jauh dari tempatku duduk. Aku meliriknya dari sudut mata, aku tau dia sedang menangis. Sayangnya, dia tak tau kalau aku sedang lebih menangis daripada dia, hanya saja aku diam.
Angin malam kembali merasuki lapisan-lapisan bajuku. Bintang bermunculan, seperti sedang ada upacara tiup lilin di kegelapan, bintang itu satu persatu meredup dan terang. Aku menatap ke bawah, di hamparan luas kegelapan, di sana juga banyak bintang, yang berwarna-warni. Indah. Aku seperti sedang terbang di antara dua langit. Toh dulu, kata guruku, ada banyak lapisan langit. Mungkin sekarang aku sedang berada di kedua lapisan itu. Ops! Bukan aku, tapi kami. Ya, aku dan Sandi, perempuan yang kuajak kesini sore tadi dan selama tiga jam aku belum memulai pembicaraan dengannya. Hebatnya, dia begitu sabar, hanya menemaniku duduk diam di bawah pohon rambutan.
Bukit bintang. Orang-orang di sini menyebutnya bukit bintang. Mungkin karena di sini adalah tempat strategis untuk melihat bintang, bukan hanya bukitnya para bintang. Entahlah, aku sendiri tidka pernah mempermasalahkan namanya. Jangan kau kira pula ini bukit bintang yang tenar di kalangan pelaku drama percintaan di daerah Jogja. Bukan. Sama sekali. Di sana mungkin tak akan kau temukan pohon rambutan tempat kami berteduh ini. Karena ini bukan di sana. Ini adalah tempat dimana aku biasa mengajak Sandi, bersama teman-temannya, membuat kemah, membuat api unggun, menyeduh kopi diatas bara api, sesekali merangkai bunga rumput liar yang tumbuh semena-mena. Namun kali ini tak biasa, tak ada teman-teman Sandi, hanya aku dan Sandi.
“Ponari datang”, tiba-tiba mulutku mengeluarkan bunyi itu. Aku bahkan tak sadar bahwa otakku memerintahkan mulutku untuk berucap.
“Kau ini kenapa? Siapa Ponari? Sudah dua puluh sembilan kali kau mengucapkan itu”, Sandi sedikit berteriak di telingaku. Aku melihat tangannya yang kecil itu mengampit sebuah pensil dan mencoretkan garis kecil di atas buku catatan yang sedari tadi kuabaikan.
“Ponari datang. Aku tau. Aku tau. Ponari datang,” kata-kata itu bagaikan butiran kelereng yang tumpah dari toples. Menggelinding begitu saja, berhamburan. Sandi menatapku tajam. Sorotan matanya menembus korneaku, seperti ada sebuah jembatan di sana. Aku melihat sudut matanya menyempit, kemudian bulu matanya semakin lentik, ada sebuah cairan bening meluruh. Sandi menangis. Aku menyesal membuatnya menangis. Kututup mulutku dengan buku catatan.
“Aku percaya itu”, Sandi merengkuhku, meremas pundakku. Tangannya melingkar ke pinggangku. Wajahnya ambruk begitu saja di dadaku. Aku mencoba mengatur nafas, aku tak ingin dia tau bahwa degup jantungku  melonjak. Aku tak ingin mengganggu kenyamanannya dengan suara degup jantungku yang parau. Kubiarkan wajahnya merangsut di dadaku. Kubiarkan tangannya semakin erat melilit pinggangku.
Aku merasakan ada suatu kelembutan, melucuti seluruh rasaku, hingga aku merasa melayang lebih tinggi dan melihat bintang-bintang yang semakin indah. Nafasku kembali teratur. Aku mengusap lembut rambutnya. Kukecup. Aroma sampo kesukaannya, aku hafal itu. Wajahnya bangkit dari pelukanku. Menengadah. Kutatap kedua mata itu, mata yang seperti ada jembatan menuju ke mataku, mata yang mengeluarkan cairan bening, mata yang dipagari bulu lentik, mata yang selalu sabar menghadapiku.
***
Mentari baru saja bangun. Sedangkan aku sudah berada di sini, di tepi koridor. Di sampingku, Sandi. Sudah sekitar limabelas menit kami di sini, menunggu. Sebuah koper besar di depanku, sedangkan tas ransel memelukku dari belakang, Sandi membawa tas kecil berwarna kecoklatan, warna kesukaannya. Pagi itu, kami telah memutuskan untuk pergi.
“Hantaka! Hantaka!”, petugas berseragam itu meneriakan nama daerah yang kami tuju. Bis yang kami nanti sudah datang. Aku betulkan gendongan ranselku. Aku melirik Sandi yang tengah membenahi long dressnya. Ah, dia nampak begitu indah dengan busana itu. Ku ulurkan tanganku. Sandi tersenyum, menyambut tanganku dengan tangannya. Jemari kami saling berkait. Kulihat cincin bertuliskan nama kami, ada di jarinya. Cincin yang memiliki kembaran, kembaran itu tersemat di jariku. Aku sudah lupa kapan terakhir kali kami sehangat ini. Semenjak aku didatangi oleh Ponari, aku terlalu sering melupakan Sandi, istriku.
Bis Pahala Kencana yang kami tumpangi segera melaju. Menembus kabut tipis di sepanjang jalan. Aku menatap ke arah jendela, sedangkan Sandi merebahkan kepalanya di pundakku, nampaknya dia begitu merindukanku. Kaca jendela sedikit berembun. Membuat buram pandanganku. Nampak samar di luar sana tampak gundukan tanah yang tinggi, itu Bukit Bintang, tempatku menemukan Ponari secara utuh. Sandi memainkan jemariku ketika handphone berdering, itu pertanda bahwa aku lah yang ditugasi untuk membuka sms. “Hati-hati, eyang... Kami di sini pasti merindukan eyang”. Sms dari Minten, anak kami satu-satunya. Sandi tersenyum ke arahku, namun cairan bening kembali menghiasi sudut matanya. Ku peluk Sandi. Kubiarkan dia menumpahkan air matanya di dadaku.
Bis semakin kencang melaju, hampir terasa terbang, melewati jutaan jengkal tanah dan lautan. Di tepian jalan sana aku melihat gubuk kecil, gubuk milik kakek yang menyuruhku pulang beberapa tahun yang lalu. Kakek yang kukira bisa menjawab pertanyaanku tentang Ponari. Ya. Ponari, suara mendengung yang telah menutupi seluruh padanganku dan memenuhi semua indera perasaku. Ponari, yang membuat istriku kesepian karena aku mengabaikannya, entah berapa tahun. Ponari, yang telah menyebabkan aku dianggap gila oleh para tetangga. Ponari, kini sudah jinak, tidak lagi menutupi pandanganku dan memenuhi indera perasaku. Dan Ponarilah yang menyadarkanku, waktu itu di Bukit Bintang, bahwa aku memiliki istri yang selalu percaya padaku, meskipun semua orang menganggapku gila. Dan kini, aku pergi, bersamanya, ke tempat yang nyaman, aman, ke tempat asal mula lahirnya semua hal, termasuk ponari. Tempat yang bisa dilihat namun tak bisa dijangkau. Kecuali dengan bis ini.


                                                                                  Pendapa Tedjakusuma, 17 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar