Kembali bertuliskan tentang sejimpit kerinduan dalam
hati, yang semakin kuat aku rasakan. Satu rindu yang teramat panjang jalan
ceritanya. Dia yang dahulu adalah yang mula-mulanya membersamaiku, yang
menuntun aku, yang mengajariku ini itu, yang menghiburku saat aku sedih, yang
mengenalkanku pada kesejatian cinta.
Sejuknya untaian perkataannya
merajalela di pori-pori hatiku. Aku merindukannya...
Indahnya
senyuman itu. Aku merindukannya...
Hangat jabatan tangannya. Aku
merindukannya...
Aku merindukan segala tentangnya...
Rindu
yang mengucur deras, sebenarnya telah lama aku rasakan. Semenjak aku berbelok
arah, sedikit mengambil sudut atas ini dan itu. Semenjak aku terpana pada
sebongkah ‘emas’ yang berhasil membuatku mengalah memalingkan wajah darinya.
Semenjak terpaan angin doremifasol dari sang tetua keluarga terngiang kuat di
telingaku. Semenjak saudaranya sepatu terkuliti dari kakiku. Semenjak pertemuan
ujung dua kain segi empat itu tak lagi membuat aku terlambat kuliah.
Sejak
itu, aku terjebak dalam persimpangan yang teramat aneh, hingga aku dan dia
terpaut beratus-ratus kilometer. Tertutupi oleh beteng transparan yang tebal,
terlihat namun tak dapat berkomunikasi. Aku memandanginya saja. Dia masih
tersenyum padaku, namun tak seperti dulu. Aku mengintipnya. Dia melambaikan
tangan ke arahku, namun tak seperti dulu. Aku mencoba menyapanya. Dia berbinar
menyambutku dengan ceria, walau tetap tak seperti dulu.
Meskipun
tak seindah dulu, aku tetap merindukannya. Dia begitu setia, saat aku mendua
dengan yang lain dan lebih memperhatikan yang lain itu, dia tetap melambai
mengajakku bersamanya. Mungkin dia pun masih tetap indah seperti dulu, dan
bahkan malah lebih indah, hanya saja aku terlanjur merasa bersalah karena aku
telah mendua.
Kesejukan
bersamanya, masih teringat jelas. Aku merindukan kesejukan itu...
Kuharap
aku akan menjumpainya esok pagi. Aku akan menghirup wewangian itu lagi. Aku
akan merasakan kesejukan itu lagi. Apa mungkin esok lusa setelah pertemuan itu
aku tetap bersamanya? Restu pun tak kudapat, dari sang bapak, pun dari sang
ibu. Namun aku percaya, jika Allah merestui, maka semua akan terjadi.
Wahai
kau yang ku rindu, maafkan atas sikapku yang menduakanmu..
Untukmu,
rinduku,
Al
Huda
Kos Ceria , 23
Des 2010
Rindha Rindhu