Selasa, 31 Mei 2011

Beringsut


Beringsut dari pembaringan semalam, seperti mendapati rasa sosok tubuh yang ngambang njomplang-njomplang. Tidak lupa juga akan perjalanan kemarin sore yang cukup formatif kreatif inovatif dan primitif. Hah..istilah apa lagi itu? Setelah gliyer-gliyer di kampus akhirnya pulang e kos hujan-hujanan dan bermaksud pulang ke rumah orang tua (hah?). Menebengkandiri di belakang kakakku, kukira akan aman dan nyaman untuk kepalaku yang masih nyut-nyutan. Ternyata justru diajak muter-muter mencari sesuatu sepesial untuk calon kakak iparku (lhoh?). Angin jalanan pun membuat badanku agak menggigil nggak jelas. Setelah perjalanan lumayan muter-muter itu, dengan kekuatan alakadarnya aku pastikan kepalaku masih tertancap di leher. Tiba-tiba… Tiiiiiiiiiiiiiiiiiiit…tittttttttt..tiiiiiittttttt.. Beberapa kali kakakku hampir membahayakan orang lain (termasuk aku dan dia sendiri). Akhirnya kami berhenti di tepian sawah sebelah barat jembatan progo. “Ngapa e?”, ucapku agak konyol juga menanyakan sesuatu yang sudah jelas. Tanpa sekecap kata, kakakku menyandarkan motor lalu turun dan merebahkan tubuhnya di atas tepian kalen tepi jalan raya. Satu kata, “ngantuk”. Tiba-tiba… merem, tidur. Fyuh…aku mengela nafas agak panjang. Beranjak dari tempatku berdiri, aku ndheprok di dekatnya. Tak peduli lagi siapa yang lalu lalang di jalanan. “Ah..ra kenal kok”. Hehe. Sedetik dua detik, semenit dua menit, sejam..(oh, tidak, tidak sampai sejam). Ah, itulah cerita yang nggak jelas, mengapa harus kuteruskan untuk menulis? Hm..

Tak ingatkah aku bahwa kemarin saat kembali ke jogja pun aku mengalami kisah yang agak dramatis? Ketika aku berdiri di bis gedhe dan ada simbah-simbah terjatuh di sampingku. Lalu di pasar gamping aku kehabisan bis jalur 15, hanya ada satu bis terakhir, aku ikut dan aku diturunkan secara agak terpaksa di demak ijo. Kebingungan nggak ada ojek, padahal shalter trans jogja berkilo-kilometer (emang iya? Nggak tau juga sih). 

Dalam kebingungan itu, aku ingat sesuatu, kunci kamarku ketinggalan. Fyuh, luar biasa. Mencoba tetap bersikap tenang dan senang, agar tak mengundang hasrat calon ‘penjahat’ yang (mungkin) berseliweran. Ketika adzan maghrib sudah selesai, aku baru mendapat solusi untuk ikut bis gedhe jurusan magelang. Oke, aku cegat dia, aku ikut dia, menumpang samapi di terminal Jombor. Krik krik krik..agak bingung dalam bis, karena belum pernah tau letak terminal Jombor itu di mana, inilah aku yang nggak gaul dengan situasi jogja. Haha. “Mbak, njombor, mbak.”, kata pak kenek. 

Aku diturunkan. Sejenak menikmati dan menghayati suasana terminal yang sepi.. Hi.. What am i going to do here? Hihi. Yups, di sebelah sana ada shalter transjogja. Oke, segera berjalan cepat hampir berlari menujunya. “Panti Rapih, Mbak”, ucapku sambil menyodorkan uang. “2B”, katanya. Dalam batin aku bilang : udah tauuuuuuu. Hehe. Agak tenang ketika di dalam bis trans jogja walaupun kedinginan AC. Brrrrr… 

Yah, ini juga cerita nggak penting, mengapa harus kutulis? Hm.. Tak usah aku ceritakan bahwa aku juga berjalan kaki 15 menit sendiri di keramaian dan kesepian jalanan depan maskam UGM. (lhoh?? bukankah dengan begitu sama saja aku cerita? Hu..dasar). Alhasil aku menjebol gembok kamar, dan fyuh…. Tergeletak, dan makan, dan mengurusi tugas, dan baru ingat kalau belum mandi, dan mandi. Haha. 

Sudahlah..
Itu cerita basi. Sekarang? Sekarang? Sekarang aku bingung untuk mengutarakan isi hatiku. 

“Rinujit rujit jroning atiku, sakabehe kang dadi amanahku katon sangsaya abot nggangdhul ana pundakku. Pundakku abot, gegerku lara, mlakuku kaseret-seret. Panduluku wus krasa panas, panas, panis. Merem ora lali, melek ora kuat. Yen kok takoni kenangapa, laraku udu lara awak. Laraku udu lara ati. Laraku lara pikir. Kepara malah lara jiwa.”, jangan kira ini keadaanku sekarang, ini adalah cuplikan cerkak berjudul..em….berjudul….em……”aku wis gedhe”. Hah? 

Sungguh..judul yang konyol. Hehe..cengengesan.
Sudahlah, ini hanya pelampiasan nikmatnya suatu proses pendewasaan… 
Untuk tugas kuliahku yang belum finish 100% : Buku Ekspresi Tulis, Buku Ajar, Kamus Konotatif, Semantik, Filologi. Dan untuk tugas nonkuliah : Laporan PKM untuk besok kamis. Dan untuk tugas kampung : Proker Karang Taruna, Atribut PIK-R, Rekapan tabungan santri, Pendataan perpus masjid, dan minggu depan wartawan amatir ini beraksi pada kampanye bupati di desa. Untuk semua pegawean rumah tangga, baik di rumah maupun di kos. Untuk semuanya : BUDAYAKAN ANTRI…!

Akhir tulisan,
Syifa sedang akan beranjak dewasa, sungguh dia masih anak-anak.
31 Mei 2011 (12:27)
»»  READMORE...

Rabu, 25 Mei 2011

Aku Bukan Mesin


Aku bukan mesin. Sekali lagi aku katakan, pada rumput-rumput teki di sebawah semak belukar, pada pucuk-pucuk pinus yang menjulang, pada tepian daunt alas yang kadang menggoyangkan butir air, juga pada seekor semut di atas batu hitam itu. Aku katakan bahwa aku bukan mesin.
Tak sadar mereka memberi julukan pada semua saudara mereka, masing-masing terlihat menyenangkan. Lalu apa julukan untuk seorang kecil macam aku? Hah. Si Mesin! Apa yang ada dibenak mereka tentang aku? Si Mesin kecil ini.
Aku punya mata, dua, sama seperti mereka. Aku punya tangan, dua, sama seperti mereka. Aku punya hidung, mulut, kaki, perut, dan lain lain semua sama seperti mereka. Lalu kalau aku mereka sebut “mesin”, lalu mereka apa? Teman mesin, solar, bensin, batu bara, gas LPJ, apa lagi? Itu pun bukan!
Aku bukan mesin. Sekali lagi aku katakan, aku bukan mesin. Mereka kurang benar jika memandangku sebagai sebongkah mesin yang punya tombol-tombol untuk dipencet sesuka hati dan mengendalikannya. Seperti ketika menyalakan magiccomku, aku nyalakan lalu aku tinggal pergi lalu pas aku kembali nasinya sudah matang. Hah! Aku bukan magiccom! Juga bukan blender! Buka juga mesin cuci! Aku bukan mesin!
Andai mereka tau. Gelundungan tulang belulang yang mereka sebut “mesin” ini kadang ingin rehat dari semuanya. Ketika dia terlalu keras mempekerjakan seluruh bagian-bagiannya, nafasnya itu kadang tersengal. Siapa yang paham kalau mesin punya pernafasan, bahkan nafas itu sesak. Konyol sekali jika ada berita “mesin pun sesak nafas”. Hah…lelucon konyol.
Sebenarnya, aku adalah alien. Alien yang berasal dari planet R. Alien yang mereka pandang sebagai “mesin”. Sebenarnya ini bukan planetku, aku hanya mampir, karena mendapat dhawuh dari sespuh untuk mampir ke planet ini. Aku adalah alien! Aku adalah penyusup! Aku adalah tamu! Tamu yang menjadi mesin di rumah si tuan rumah. Lelucon apa lagi. Sama sekali hambar!
Alien kini lelah. Mesin itu kini sudah panas. Aku bukan mesin. Aku bukan mesin. Karena aku bukan mesin. 
»»  READMORE...

Kamis, 05 Mei 2011

Awal Penghujung 18


Hujan pagi ini terasa hangat menyapaku. Ketika sepasang sepatuku kudapati dalam keadaan basah di depan kamar. Kehangatan yang kurasakan, bahkan lebih hangat daripada perapian tungku di dapur. Dinginnya air di kolah tak lagi terasa dingin oleh poriku. Tetesan air dari atap sana tak terasa olehku. Aku membeku.

Mungkin airmataku lebih dingin dari semua itu. Hingga suhu abstrak yang dia ciptakan jauh dibawah suhu alam yang mengitarinya. Basahnya hatiku olehnya, lebih membekukan daripada kubangan-kubangan di tepian jalanan.

Maaf kepada aku yang sedang menikmati acara pelapukan. Mirip seperti keterangan ibu guru di SMP dulu, pelapukan terjadi karena perubahan suhu dadakan yang sangat kontras. Benar saja, pelapukan sungguh terjadi.

Hujan menyapaku, sekali lagi, hujan menyapaku. Desir suara rincikan air merasuk sumsum tulang belakangku. Mengingatkanku pada masa itu, saat aku terbaring di balik tirai kamar rumah sakit, ditemani puluhan jarum di sekujur badanku. Masih ingat betul suara pak dokter yang lemah lembut menghibur anak kecil yang meneteskan air mata ini. Masih ingat betul pamitan bapak ketika meninggalkanku keluar kamar. Masih ingat betul sambutan mamak di depan pintu penuh kasih, tetap menghibur aku yang menyerahkan foto rongsen dengan pasrah. Masih ingat betul hiburan masku dan adikku yang tak henti, membujuk aku untuk keluar kamar lantaran aku mengurung diri. Masih ingat betul. Hujan ini, sama seperti hujan pada masa itu, hujan yang menemaniku bercinta dengan jarum.

Tak terasa memang, sudah dua tahun lebih masa itu berlalu. Namun memoir tentang itu masih lekat erat di benakku. Tulisan tangan pak dokter yang tertera di amplop besar itu, “Nn Rinda, 16 thn”. Masih terlalu labil gadis seusia itu untuk menerima kenyataan, bahkan itu adalah saat menjelang ujian nasional, sungguh jika saja ada yang mau merasakan, mungkin akan paham tentang perjuangannya yang dahsyat. Vonis itu, berita datangnya adik baru, percikan api kecil dalam silsilah, berpadu menyatu menemaninya menyambut ujian nasional. Walhasil dengan keterpurukan psikis yang menyerangnya, gadis itu mampu merampungkan masa SMA nya dan melesat meninggalkan masa kepenjarahan itu.

Maaf, memang seperti ini nostalgia ketika hujan menyapa. Sapaan yang hangat. Menghiasi al kisah penghujung 18 ku. Memutar momoar masa lalu untuk instroprksi diri dan mengukur serta up grade kualitas diri. 


»»  READMORE...

Rabu, 04 Mei 2011

hati goyah karena si dia


Malam minggu, seperti yang lalu, sendirian di rumah. Kakakku ngeBand, bapak-mamak-adik2ku, semua ke rumah simbah. Dan aku jaga rumah (tentunya di rumah) sendirian. Yah, sudah agak terbiasa. Jadi aku senam jemari saja. Hm... kali ini senam bejudul “ketika hati goyah karena si dia”.

Dia..dia..dia. Mirip lagunya lelaki berkacamata dan bersuara agak empuk serak basah. Dia lagi, dia lagi. Seakan bayangan si dia ada di setiap pandangan mata kita. Ketika kita menikmati hamparan bintang-bintang di langit, bukan bayangan betapa agungnya Sang Penciptanya, namun bayangan si dia yang tampak. Ketika kita melihat pemandangan dari atas bukit bintang, mungkin (padahal aku nggak tau bukit bintang itu kayak apaan. hehe), bukan ucapan pujian untuk Sang Pencipta yang kita gumamkan, tetapi segala hal tentang si dia yang terpatri di ingatan kita. Pun ketika kita dalam perjalanan ke kampus, ketika sedang mendengarkan dosen berSesorahRia, ketika jam istirahat, ketika ngantri di warung makan, ketika on line, ketika pulang ke kosan, ketika nyuci baju, ketika nyetrika, ketika ngerjain tugas, ketika beres-beres kamar, bahkan ketika membuang sampah pun yang ada di benak khayal kita hanya dia, dia, dan tetap dia. Bahayanya lagi, jika sampai ketika kita sholat dan membaca Qur’an kita tetap memikirkannya. Bahaya!! Yang semacam ini sudah terjangkit virus hakcih stadium akhir. (Lhoh???!!.... Semoga kita tidak termasuk golongan yang demikian)

Kalau sudah begitu, hari-hari kita menjadi kacau hanya gara-gara fokus kita tersamarkan oleh bayangan si dia. Sungguh kacau, kacau, dan kacau. Hingga terasa hambar bin hampa, melalui hari-hari yang nggak jelas. Yang ada hanya lamunan, lamunan, dan lamunan. Entah lah, memang segala tentang si dia telah mendikte software di otak kita. Lantas kalau sudah terlanjur virusen, bagaiaman lagi? Bayangkan jika kita adalah sebuah hand phone, kita harus mereset semuanya. Atau jika kita adalah flashdisk, kita harus diformat ulang. Atau jika kita adalah laptop, kita harus diinstall ulang. Hanya saja, kita adalah seonggok daging yang diliputi selang-selang pembuluh darah, yang bergerak karena ada unsur otot dan tulang, yang bernafas. Dimana bisa kita temukan tombol reset? Pilihan format atau istal ulang? Dimana? Apa kau menanyakannya kepadaku?

Entah jenis virus trojan atau apa, aku tidak pernah berkenalan dengan koloni virus di laptopku. Dan aku beri nama virus yang membuyarkan pandangan ini adalah virus hakcih. Ya, hakcih. Kedengarannya seperti bunyi bersin tetangga, namun bukan itu maksudku. Tidak akan dipermasalahkan mengenai maksud dari penyematan nama itu, yang utama adalah bagaimana tindakan kita jika terindikasi virus tersebut. Begini, ehem..

Ketika  kita merasa sudah terjangkit virus memabukkan itu, segeralah kita cuci muka!! Mungkin Anda akan bertanya, mengapa cuci muka? Karena menurut penelitian (hanya khayalan oleh ilmuwati bernama Rinda. Haha), cuci muka atau yang biasa kita sebut ‘raup’ dapat merangsang otot wajah kita kembali fresh dan rileks segar kembali setelah lesu lelah melamun. Ya! Kukira semua orang sudah tahu akan hal itu. Hehehehe. Itu hanya cuci muka! Bagaimana kalau berwudhu saja sekalian? Tentu saja itu akan membuat semangat kita kembali seperti semula, pikiran pun akan jernih. Dengan catatan wudhunya dengan sebenar-benarnya, bukan sekedar basah saja. Ketika kita membasuh telapak tangan, bayangkan apa saja kerjaan si tangan ini yang telah mengundang virus itu (misal : sms-an, rajin sms walau jarang dibalas. Hahahahaha). Ketika kita berkumur, bayangkan ucapan apa saja yang menjadi bumbu menyubur virus itu (misal : crewet hanya untuk cari perhatian. Heheh). Ketika kita membasuh muka, bayangkan berapa jam waktu yang kita habiskan untuk melamunkannya (sampai2 tidur pun susah. Hihihi). Ketika kita membasuh tangan, bayangkan apa saja yang telah kita perbuat hanya untuk menarik perhatiannya (misal : banyak ‘pertolongan’ yang tidak ikhlas, mengharap balasan berupa perhatian. Hayooo...). Ketika kita membasuh kepala dan telinga, bayangkan berapa sering otak dan telinga kita tiba-tiba blank saat perkuliahan atau saat mengerjakan tugas hanya karena bayangan si dia berseliweran (horoooh..). Pun ketika kita membasuh kaki, bayangkan berapa ribu langkah yang telah kita lakukan hanya untuk bertemu dengannya (dibela-belain muter lewat jalan yang jauh hanya untuk berpapasan. Hohoho). Sudah selesai?? Kok? Semua organ tubuhmu kau gerakkan hanya untuk sidia?? Lalu mana bagian untuk teman, para sahabat, bahkan mana untuk orang tua kita??!! Kalau semua itu saja belum menduduki posisi atas, lalu bagaimana dengan Tuhan kita?? Bagaimana dengan Allah?? Apakah Allah masih menduduki peringkat teratas di data ‘perhatian’ kita??? (...)

Jika wudhu kita sudah sebenar-benarnya wudhu, maka lima puluh persen konsentrasi kita akan kembali pulih, bayangan sidia sedikit bergeser. Lalu bagaimana caranya untuk bisa mencapai konsentrasi yang optimal?? Tentunya kita laksanakan kewajiban kita, yaitu sholat. Tentunya dengan sholat yang sebenar-benarnya sholat, tidak asal, orang jawa bilang ‘waton jengkang-jengking’. Hehehe (sepertinya aku adalah orang jawa. Hah!). Setiap gerakan sholat kita lakukan dengan sungguh-sungguh, itu akan merangsang otot menjadi rileks dan aliran darah ke otak menjadi lancar. Kenapa? Ketika kita rukuk, tulang belakang kita merenggangkan syaraf-syarafnya, dan aliran darah lancar. Ketika kita sujud, darah akan mengalir ke otak, sehingga suplai oksigen ke otak kita meningkat, hal itu akan mengembalikan konsentrasi kita. (Wuaaa...jadi sebelum memasuki ruang ujian, sebaiknya kita bersujud dulu. Heheheheee). Yah, penjabaran tentang keajaiban wudhu dan sholat kita cukupkan dulu, habis. Lain kali dilanjutkan. Sudah terlalu mbliber-mbliber, hihihii.

Kita. Ya, memang kita. (Siapa yang nggak mau ikut? Ya sudah, berarti “kita semua kecuali kamu”. Hahahaha). Itu lah kita semua kecuali kamu. Hehe. Begitu. Sebenarnya ini terinspirasi dari beberapa buku yang menjabarkan tentang percintaan. Tentang “jomblo adalah pilihan”, tentang “nikah dan pacaran”, tentang “kujemput jodohku”, tentang semuanya. Apa lagi?? Entah, aku lupa. Namun terlalu berat pembahasannya, yang menurutku “iiihhhh.....sok banget sih! Terlalu perfect..!”. Opsss...sebenarnya tidak begitu, aku saja yang lebai. Memang, aku tak akan menyangkal jika kita pernah atau bahkan sedang terjangkit virus hakcih itu. (Lhoh...?). Itu wajar, kata seorang psikolog. Itu godaan setan, kata seorang ustadz. Dan apa kataku? Itu nyata, kataku. Hehehehee. (semrawut.com).

Akhirnya aku pun kehabisan kata-kata (baru menyadari bahwa aku itu boros, boros kata). Kita harus bangkit! Wujudkan mimpi indah masa depan! (yah, ini contoh konsentrasi buyar gara-gara lapar, pembahasan sudah tidak kohesif dan koheren apa lagi komprehensif. Hahaha.. ingat mata kuliah deh jadinya).

Ketika hati goyah karena si dia. Pokoknya, tenanglah, “masa itu” akan tiba, dan akan lebih indah... Tenanglah.
»»  READMORE...

Senin, 02 Mei 2011

Aku Menemukannya


Pagi ini, udara terasa dingin menusuk tulangku. Ujung kakiku tampak pucat, dingin, namun aku masih bernafas. Sehelai jarik berpatik parang ini menyelimutiku. Entah, aku enggan beranjak dari pembaringan. Aku tau, tumpukan pekerjaan rumah masih antri, banyak. Namun mata ini masih belum mau beralih pada beberapa buku yang tertumpuk di sampingku. Tangan ini belum melepaskannya, dan membiarkan sorot mataku menjelajahinya dengan leluasa. Sesekali tangan ini mengambil jajan oleh-oleh bapak dari pulau seberang semalam (entah apa namanya, aku nggak tau). Posisiku pun terus beralih, mulai dari tiduran, tengkurep, miring, njengking, duduk, ada ada saja cara biar aku tak memasukan kode kejenuhan kepada si skoliku. Meski mata ini lelah, lantaran kacamataku rusak dan aku tidak memakainya selama liburan ini, namun belum ingin berhenti juga.

Bapak pergi kerja, ibu menemani adik ke PAUD, adikku ke sekolah, kakakku entah mandi entah ngapai di kawasan sumur sana. Dan aku? Masih di sini, ditemani tumpukan buku yang baru saja selesai kuberi pakaian semalam.

Di tengah kedinginan dan keasyikan, aku sempat menitiskan air mata (biar saja, toh di sini aku sendirian) saat mataku terperangkap pada sebuah alinea di pojok halaman sebuah majalah islami. Itu tentang sholat. Ya, tentang sebuah kewajibanku, sholat. Entah, tiba-tiba aku merasa bahwa aku telah melakukan kesalahan besar. Terlalu besar, dan akibat dari perbuatanku itu telah aku rasakan. Ya, Allah telah membalasnya. Bukan di akhirat, namun di dunia. Aku telah berbuat dosa, sebut saja itu adalah dosa.

Jika balasan di dunia saja sudah kurasakan sedemikian berat dan menguras air mataku sejak tiga taun lalu, apa yang akan terjadi dengan balasan di akhirat kelak? Aku samasekali tak menyangka bahwa peristiwa tiga taun silam adalah sebuah ‘balasan’ dan juga peringatan. Mengapa selama ini aku tak menyadarinya? Kemana saja aku? Betapa ‘ndhableg’nya aku. Mengapa baru sekarang aku mengetahuinya?

Penyesalan yang hampir terlambat, kawan. Lihat, mentari masih bersinar di ujung sana, meskipun kau tetap kedinginan. Lihat, ocehan burung di luar sana masih ramai, meskipun kau sendirian. Berharaplah esok masih ada mentari, dan masih ada ocehan burung.

Ya, ini adalah secercah sinar yang kutuju beberapa watu lalu ketika aku berada di taman. (mungkin). Sejuta rasa yang aku rasakann, tentang hidupku, tentang ridho Allah yang tak henti kuharapkan. Terlalu hina diri ini untuk mengarap ridho-Nya, jika ‘peringatan’-Nya pun aku tak paham, jika bersyukur pun aku jarang.
Untuk bapak-mamak-adik2-kakak, tenanglah, aku tak akan mengeluhkannya lagi, hingga kelak aku mencium bau surga. Untuk para sahabatku, maaf jika telah merepotkan kalian dengan berbagai keluh kesahku. Untuk dokterku, maaf pak dokter, pasienmu telah kabur tanpa kabar.
Aku bersyukur, telah kutemukan obat penyembuh sakitku.


»»  READMORE...