Bagaimana Aku Bersikap? Maaf, pertanyaan itu berjingkat-jingkat di seputaran memoriku
yang konon katanya sudah agak di bawah rata-rata daya ingatnya. Apa?? Mengapa
aku menanyakan “Bagaimana aku bersikap”? Bahkan itu sangat tidak penting sekali
untuk aku jadikan sebuah tulisan di catatan kecil ini. Toh, pasti mereka akan
berkata “apa sih maksud tulisanmu? Pola
pikirmu sama sekali tak sama dengan pola pikir manusia pada umumnya!
Berhentilah bertele-tele.”
Fyuh.
Helaan nafas yang lumayan agak panjang itu terhenti secara mendadak dan
kemudian berlanjut dengan hembusan yang tak beraturan ketika sepotong demi
sepotong aku memunguti sesuatu yang tercecer. Yang tercecer? Ya, awalnya aku
hanya sekelebat melihat sepotong terjatuh begitu saja, di hadapanku (oh, agak
kesamping kanan di depanku, persis di dekat sepasang sandal yang kulepas karena
basah). Ku biarkan saja potongan itu. Beberapa detik kemudian sepotong yang
lain melesat membentuk garis gerak parabola dari sudut kiri itu menuju ke titik
sekitar dua depa di arah barat daya sana jika aku menghadap ke barat. Tak
sampai dua detik, disusul potongan lain yang melompat terjun langsung ke bawah
seperti elang yang menukik tajam mengincar ikan cethul. Dan seterusnya dan
seterusnya. Interval frekuensinya semakin sering dan sering, hingga tak
mustahil ada kesejajaran dalam mencecerkan diri. Dihiasi dengan berbagai gaya,
entah salto, guling-guling, smash, kupu-kupu, stradle, dan lain sebagainya. Itu
membuat sepasang mata ini merasakan mendapati sesuatu yang lumayan semrawut
lantaran mereka “blederi” tempat yang telah aku bersihkan sebelumnya. Tercecer.
Begitu. Saja.
Lalu
apa hubungannya dengan “bagaimana aku bersikap”??? Keterceceran potongan
sesuatu dengan teoritis cara bersikapku. Oke. Memang, semua hanya teori. Hanya.
Bukan, teori tidak dapat di”hanya”kan. Kadang memang kita mencap si teori itu
sebagai sesuatu yang PERFECT, IDEAL, SEMPURNA. Tanpa pernah mengingat anomali
air, mungkin. Hehe. Ketika kita mendapat predikat ‘gagal’ dalam berkarya dan
merasa bahwa ‘aku sudah benar, hanya
kenyataan di sekitarku saja yang tidak mendukung kebenaranku ini’, bahkan
mengatakan ‘alaaaah...semua itu hanya
teori, tidak realistis!’. Stop. Itu aku yang memikirkannya. Ketika aku
menuliskannya pun sebenarnya aku memikirkan ketidakjelasan pada tulisanku ini,
jemariku bebas meloncat-loncat dengan indah kesana kemari, otakku bebebas
mengirimkan pesan perintah kepada mereka, mataku pun enjoy it. Kita salah,
ops..maaf, aku salah. Justeru dengan adanya teori itu lah kita hidup. Why??
Hidup adalah rentetan
kejadian yang terolah karena adanya masalah. Itu menurutku. Entah apa menurut para ahli di
buku-buku tebal yang membuatku kenyang itu. Dalam artian hidup yang seperti
itu, dapat di simpulkan bahwa hidup ada karena ada masalah. Katakan pada
MASalah : “Aku ada kar’na kau pun ada, dengan cinta kau buat diriku HIDUP
selamanya” (ditembangkan dengan lagunya Radja ‘). Hah??! Sssttt.. Apa sih
masalah itu? Siapa sih MASalah itu? Kali ini aku akan merunut kata-kata dosenku
“masalah adalah kesenjangan antara apa yang terjadi (kenyataan) dengan apa yang
seharusnya terjadi (teori)”. Kesenjangan itu lah yang menjadikan kita mencari
jalan keluar untuk menjembatani antara keduanya.
Ketika manusia purba (katanya) ingin makan
daging binatang, maka mereka menyulap batu menjadi kapak untuk berburu di
hutan, ketika graham bell merindukan seseorang di tempat yang jauh maka dia
mengaryakan seonggok mesin lumayan kecil disebitu pesawat telephone, ketika ary
ginanjar keluar kelas dan berjalan di lorong sekolahan hanya untuk memikirkan
tentang jati dirinya dan tuhannya maka dia pun mendalami ke’semrawutan’nya itu
dan mengupayakan penjawaban yang memuaskan dan akhirnya launchinglah ESQ,
ketika ...hem..ketika.. apa lah. Semua itu, maksudku benturan atau ganjalan
yang janggal di pikiran kita itulah yang menjadi pecut amarasuli (eh bukan!)
menjadi batu loncatan bagi kita untuk mengembangkan diri dan meraih anak tangga
di atas kita, itu artinya jika kita berhasil melaluinya berarti kita hidup.
Namun jika benturan-benturan itu justru membuat kita letih lemah lesu lunglai
lapar luweh lama lama lebai, aku sebut itu tidak hidup.
Yah,
yah, yah..
Omyangan
ini tidak akan berakhir jika kubiarkan jemariku menari terus. Bahkan intinya
pun belum akan jelas lugas runut terpadu, sebelum semua uneg-uneg ini aku
cecerkan di layar laptopku dan diedit hingga ratusan kali. Cara berpikir yang
sat set berbuntut pada kesemrawutan. Itulah suatu suasana dalam diri yang
kurang tertata. Hingga kembali pada topik pertama tadi “bagaimana aku
bersikap”, itu semrawut pada realitanya. Selentingan itu menurut beberapa orang
adalah termasuk cabang MASalah “sikapku agak tidak baik”. Jadi menurutku pasti
ada teorinya. Jadi menurutku juga itu indikator kehidupanku. Jadi menurutku
juga aku mendapat amanah abstrak untuk membangun jembatan antara dua kubu, kubu
teori dan realita, yang mungkin bisa membantu aku meloncat meraih anak tangga
di atasku. Dan sekarang aku sedang memunguti potongan-potongan material yang
tercecer tadi untuk dijadikan bahan membangun jembatan.
Kuningan
i 23, 00:10 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar