Jumat, 25 Februari 2011

Bagaimana Aku Bersikap?


Bagaimana Aku Bersikap? Maaf, pertanyaan itu berjingkat-jingkat di seputaran memoriku yang konon katanya sudah agak di bawah rata-rata daya ingatnya. Apa?? Mengapa aku menanyakan “Bagaimana aku bersikap”? Bahkan itu sangat tidak penting sekali untuk aku jadikan sebuah tulisan di catatan kecil ini. Toh, pasti mereka akan berkata “apa sih maksud tulisanmu? Pola pikirmu sama sekali tak sama dengan pola pikir manusia pada umumnya! Berhentilah bertele-tele.”

Fyuh. Helaan nafas yang lumayan agak panjang itu terhenti secara mendadak dan kemudian berlanjut dengan hembusan yang tak beraturan ketika sepotong demi sepotong aku memunguti sesuatu yang tercecer. Yang tercecer? Ya, awalnya aku hanya sekelebat melihat sepotong terjatuh begitu saja, di hadapanku (oh, agak kesamping kanan di depanku, persis di dekat sepasang sandal yang kulepas karena basah). Ku biarkan saja potongan itu. Beberapa detik kemudian sepotong yang lain melesat membentuk garis gerak parabola dari sudut kiri itu menuju ke titik sekitar dua depa di arah barat daya sana jika aku menghadap ke barat. Tak sampai dua detik, disusul potongan lain yang melompat terjun langsung ke bawah seperti elang yang menukik tajam mengincar ikan cethul. Dan seterusnya dan seterusnya. Interval frekuensinya semakin sering dan sering, hingga tak mustahil ada kesejajaran dalam mencecerkan diri. Dihiasi dengan berbagai gaya, entah salto, guling-guling, smash, kupu-kupu, stradle, dan lain sebagainya. Itu membuat sepasang mata ini merasakan mendapati sesuatu yang lumayan semrawut lantaran mereka “blederi” tempat yang telah aku bersihkan sebelumnya. Tercecer. Begitu. Saja.

Lalu apa hubungannya dengan “bagaimana aku bersikap”??? Keterceceran potongan sesuatu dengan teoritis cara bersikapku. Oke. Memang, semua hanya teori. Hanya. Bukan, teori tidak dapat di”hanya”kan. Kadang memang kita mencap si teori itu sebagai sesuatu yang PERFECT, IDEAL, SEMPURNA. Tanpa pernah mengingat anomali air, mungkin. Hehe. Ketika kita mendapat predikat ‘gagal’ dalam berkarya dan merasa bahwa ‘aku sudah benar, hanya kenyataan di sekitarku saja yang tidak mendukung kebenaranku ini’, bahkan mengatakan ‘alaaaah...semua itu hanya teori, tidak realistis!’. Stop. Itu aku yang memikirkannya. Ketika aku menuliskannya pun sebenarnya aku memikirkan ketidakjelasan pada tulisanku ini, jemariku bebas meloncat-loncat dengan indah kesana kemari, otakku bebebas mengirimkan pesan perintah kepada mereka, mataku pun enjoy it. Kita salah, ops..maaf, aku salah. Justeru dengan adanya teori itu lah kita hidup. Why??

Hidup adalah rentetan kejadian yang terolah karena adanya masalah. Itu menurutku. Entah apa menurut para ahli di buku-buku tebal yang membuatku kenyang itu. Dalam artian hidup yang seperti itu, dapat di simpulkan bahwa hidup ada karena ada masalah. Katakan pada MASalah : “Aku ada kar’na kau pun ada, dengan cinta kau buat diriku HIDUP selamanya” (ditembangkan dengan lagunya Radja ‘). Hah??! Sssttt.. Apa sih masalah itu? Siapa sih MASalah itu? Kali ini aku akan merunut kata-kata dosenku “masalah adalah kesenjangan antara apa yang terjadi (kenyataan) dengan apa yang seharusnya terjadi (teori)”. Kesenjangan itu lah yang menjadikan kita mencari jalan keluar untuk menjembatani antara keduanya.  

Ketika manusia purba (katanya) ingin makan daging binatang, maka mereka menyulap batu menjadi kapak untuk berburu di hutan, ketika graham bell merindukan seseorang di tempat yang jauh maka dia mengaryakan seonggok mesin lumayan kecil disebitu pesawat telephone, ketika ary ginanjar keluar kelas dan berjalan di lorong sekolahan hanya untuk memikirkan tentang jati dirinya dan tuhannya maka dia pun mendalami ke’semrawutan’nya itu dan mengupayakan penjawaban yang memuaskan dan akhirnya launchinglah ESQ, ketika ...hem..ketika.. apa lah. Semua itu, maksudku benturan atau ganjalan yang janggal di pikiran kita itulah yang menjadi pecut amarasuli (eh bukan!) menjadi batu loncatan bagi kita untuk mengembangkan diri dan meraih anak tangga di atas kita, itu artinya jika kita berhasil melaluinya berarti kita hidup. Namun jika benturan-benturan itu justru membuat kita letih lemah lesu lunglai lapar luweh lama lama lebai, aku sebut itu tidak hidup.
Yah, yah, yah..

Omyangan ini tidak akan berakhir jika kubiarkan jemariku menari terus. Bahkan intinya pun belum akan jelas lugas runut terpadu, sebelum semua uneg-uneg ini aku cecerkan di layar laptopku dan diedit hingga ratusan kali. Cara berpikir yang sat set berbuntut pada kesemrawutan. Itulah suatu suasana dalam diri yang kurang tertata. Hingga kembali pada topik pertama tadi “bagaimana aku bersikap”, itu semrawut pada realitanya. Selentingan itu menurut beberapa orang adalah termasuk cabang MASalah “sikapku agak tidak baik”. Jadi menurutku pasti ada teorinya. Jadi menurutku juga itu indikator kehidupanku. Jadi menurutku juga aku mendapat amanah abstrak untuk membangun jembatan antara dua kubu, kubu teori dan realita, yang mungkin bisa membantu aku meloncat meraih anak tangga di atasku. Dan sekarang aku sedang memunguti potongan-potongan material yang tercecer tadi untuk dijadikan bahan membangun jembatan.
  

Kuningan i 23, 00:10 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar