Senin, 29 November 2010

Aku Mulai Merasakannya


Yang dulu hanya aku dengar dari ceritaan mereka-mereka yang mengalaminya, mereka duluan. Kini aku percaya bahwa itu benar adanya. Membuatku semakin merasa bersalah atas kematian sahabatku. Dulu aku terlalu mengacuhkan ceritaan mereka-mereka itu, hingga aku terlalu berbaik sangka terhadap apa yang dirasakan sahabatku.

Apa aku salah ya. Mempositifkan pikiranku, bahwa sahabatku pasti akan baik-baik saja, tidak akan seperti mereka-mereka yang bercerita menakut-nakutiku. Namun nyatanya, aku mengalami apa yang mereka alami. Allah membuktikan kebenaran cerita mereka. Sahabatku meninggal, sama seperti ceritaan mereka, yang dulu aku anggap terlalu lebai, dan aku tak mau menjadi penakut.

Sesak, memang sesak sekali rasanya. Ketika terlalu lelah tubuh ini menyongkong beban. Ketika tas punggungku seperti berpuluh-puluh kali lebih berat. Ketika lenganku memaksakandiri untuk menjinjing ember itu. Ketika adikku rewel dan aku mencupcupnya dengan menggendongnya jalan-jalan keliling rumah hingga tepian sawah tetangga. Ketika ketika ketika dan ketika yang lain.
Mungkin yang aku rasakan tidak lebih buruk dari apa yang dirasakan oleh mereka-mereka dan oleh almarhumah sahabatku sendiri. Memang derajatku belum begitu parah, atau entahlah aku juga belum pernah menanyakan pada dokter berapa derajatku, apakah tergolong ringan-sedang-atau berat. Aku belum pernah tahu tentang itu. Yang aku tahu hanyalah kurva tulang punggungku yang sepertinya punya nilai seni tinggi, lengkungan yang indah memang. Dua-tiga-atau empat tahun yang lalu atau berapa (tidak tahu pastinya) aku memilikinya, dan foto rongsen itu masih kusimpan. Aku tak membelinya dengan harga yang mahal. Aku mendapatkannya secara gratis. Aku diberi. Hadiah dari Allah. Hadiah terindah, disaat aku mencecap dunia SMA. Hadiah yang akan tetap kumiliki hingga aku mati kelak.

Aku tak mau mengatakan kepada teman-teman dan sahabatku tentang ini lagi. Cukup mereka tahu sebatas skoliosis yang aku punya. Tidak usahlah dijelaskan tentang gejala sesak nafas yang mulai kurasakan ini. Biarkan aku istirahat, mengumpulkan oksigen lagi, yang kadang susah kudapati ketika aku beraktifitas. Sering kuanalogikan pada merosotnya daya tangkap otakku, lantaran suplai oksigen ke otak mungkin sudah tak sebanyak dulu waktu aku kanak-kanak. Sudahlah. Aku hanya tak mampu membayangkan, seperti apa aku kelak ketika sudah berumah tangga, mampu kah aku, bertindak layaknya ibu rumah tangga yang banyak kerjaan mengurus rumah seisinya, sebagai istri yang senantiasa setia melayani suami, sebagai ibu dari anak-anakku yang mungkin tak akan membayar baby sitter untuk mengasuh mereka, apa aku mampu, dan bahkan jika kelak aku tinggal bersanding dengan mertua dimana aku yang memegang tanggung jawab mengurus mereka. Yah, aku harus mampu.... Harus Mampu.... Sakitku tak akan mengalahkanku.. Aku akan mengalahkan penyakitku.. Walau mungkin tanpa obat ataupun operasi. Aku yakin Allah selalu ada untukku... Allah pasti menunjukan kekuasaannya. Mungkin keajaiban yang aku alami.. J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar