Jumat, 24 Juni 2011

Kucing Loreng



"Dasar, pelit...!", teriak seekor semut kepada kucing loreng yang baru saja masuk gudang. Si kucing loreng hanya tersenyum sinis dan melanjutkan langkah dengan santainya seolah tidak terjadi apa-apa. Wajah semut memerah, sepasang matanya yang bening mulai berkaca-kaca, bibirnya ia gigit, ia menanahan tangis.

Semut hitam itu kini termangu di pojok gudang, di bawah meja tua bekas meja makan Napoleon. Di pojok lain kucing loreng sedang menata kain perca untuk dijadikan alas tidurnya. Beberapa helai benang yang berceceran di lantai membuat semut itu enggan menghapiri si kucing, toh jika ia melakukannya itu hanya akan membuat tangisnya pecah. Ruang yang remang-remang gelap menjadikan suasana terasa nyaman untuk mencucurkan tangisnya, namun ia tak melakukannya.

Memorinya kembali pada masa beberapa menit tadi, ketika pintu gudang terbuka. Pintu yang terbuat dari kayu jati tua itu berdenyit merdu, hampir membuat irama nyaring di telinga. Sorot cahaya lampu petromak menyapu salah satu sudut ruang. Beberapa potong cahaya itu terhalangi oleh sebentuk bayangan hitam, seperti sosok rahwana yang bertengger di kelir putih. Semut hitam di berlari menuju balik tumpukan kadus, kepalanya nampak timbul tenggelam mengintip kejadian di sekitar pintu tadi. "Meooooooowwng..uaaarkkk..!", terdengar jeritan dari arah bayangan hitam itu. Seonggok karung terlempar ke pojok gudang, "gubraaaaaaaaakkk!", menumbuk tumpukan kardus dimana semut itu bersembunyi. "Brukk..!", dari arah lain terdengar suara benda yang jatuh. Semut terbelalak kaget. Hampir saja tubuh mungilnya terjepit antara kardus dan tembok.

Dengan langkah yang gemetaran, semut hitam mendekati karung itu. "Meooooooownggg..," suara itu kembali terdengar, namun lebih lemah. Tiba-tiba dari mulut karung itu keluar seekor kucing loreng, tubuhnya kurus kering, matanya memancarkan tanda bahwa dia sedang lemah. "Emm...Apa kau baik-baik saja?", semut hitam mencoba membuka percakapan. "Hm...", sahut si kucing loreng, tanpa melirik sedikitpun kemudian berjalan tertatih menuju kolong meja. Semut hitam bingung, apa yang terjadi, dan mengapa kucing itu begitu acuh tak acuh.

Semut hitam teringat benda lain yang juga terjatuh tadi, dia mencoba mencari di seluruh penjuru gudang. Hanya dengan berkas cahaya dari ventilasi jendela, dia mempekerjakeraskan matanya. Sesekali dia menengok ke arah kucing tadi, dilihatnya kucing loreng itu tergolek lemas. Dia ingin menolong kucing malang itu, namun apa daya, tubuhnya yang kecil itu tak mampu berbuat apa-apa.
Bau apa ini...? Semut mencoba mencari arah sumber bau itu. Didapatinya sebungkus plastik kresek putih. "Ah, aku tau, ini bau makanan", bisiknya. "Bagaimana bisa aku membuka plastik ini?", semut hitam pun ragu. Dia pun terdiam, mengitari plastik itu. Setelah beberapa menit, "Aha..!! Aku tau!", wajah semut hitam pun sumringah. Segera dia berlari menuju balik tumpukan kardus tadi, masuk ke dalam lubang kecil di pojok tembok. Tak selang lama, berhamburanlah koloni semut hitam, sumamburat keluar, dan menyerbu plastik kresek itu.

"Aku harus mendapat potongan yang besar..!". teriak seekor semut sambil menggerogoti plastik itu. "Ah, apa apa an kamu, kita harus bagi rata...! Toh, plastik ini nampaknya besar sekali, pasti makanannya banyak!", jawab semut lainnya yang juga menggerogoti plastik. Suasana menjadi gaduh, gaduh bagi semut itu, bukan bagi kucing. Nampak kucing loreng masih tergolek tanpa suara.

"Sudah-sudah, makanan ini nanti kita bagi menjadi dua, satu bagian untuk kita, dan sebagian yang lain untuk kucing itu," semut hitam itu nampaknya bertindak sebagai pemimpin, menjelaskan niatnya menolong kucing itu.
"Ah...apa??!! Dia kan hanya tiduran, sementara kita bekerja keras, kenapa harus berbagi dengannya?", protes salah satu prajurit.
"Kasihan kucing itu, lemah sekali, baru saja dia dilempar ke gudang ini oleh manusia hitam. Sepertinya dia butuh asupan tenaga, lihat, bergerak pun nampak lemas sekali," jelas si semut hitam sembari menunjuk ke arah kolong meja dimana kucing loreng itu berada.

Mendengar penjelasan itu, semua koloni setuju untuk berbagi makanan dengan kucing malang itu. "Okelah kalau begitu, kita harus berbagi, siapa tau kita bisa bersahabat dengannya, jadi tidak kesepian di gudang gelap ini", seekor semut termuda. "Sepatu...!", sahut para koloni, hampir serentak.

Setelah berjuang menggerogoti plastik kresek putih itu, akhirnya sobeklah salah satu pojok plastik. Serentak para koloni semut hitam berbaris rapi dan satu persatu masuk ke dalam plastik. Mereka terbiasa hidup teratur, tanpa dikomando pun sudah bisa menempatkan diri. Satu per satu semut menggendong sebutir nasi keluar menuju dekat tumpukan kardus. Sedangkan untuk mengusung lauknya yang berupa potongan ikan asin dan telur itu mereka lakukan dengan cara gotong royong.

Setelah semua makanan keluar dari plastik, semut hitam yang berniat tulus tadi segera berkata, "Sekarang, saatnya makanan ini kita bagi menjadi dua". "Oke!", teriak koloni berbarengan. Sementara itu, semut hitam itu mendekati kucing loreng yang masih tergeletak di kolong meja.

"Maaf, apakah kau sudah makan?", dengan penuh rasa simpati semut itu bertanya pada kucing. "Ah..apa urusanmu?", jawab kucing ketus. Semut hitam terdiam. "Emm...em...em....aku, aku, hanya ingin menawarkan makanan, mungkin, mungkin kau butuh makan untuk mengembalikan tenagamu... ku, ku, kulihat kau, kau nampak lemah..", suara semut itu terputus-putus, dia takut jika kucing loreng itu marah.

Namun, tanpa berucap sepatah kata pun, kucing loreng bangkit, kemudian jelalatan mencari dimana makanan itu. "Itu, disana, sebagian untukmu, sebagian untuk keluargaku", ucap semut hitam, menunjuk ke arah tumpukan kardus. Dengan tertatih, kucing itu berjalan mendekati gundukan nasi, ikan asin, dan telur, yang ada di dekat tumpukan kardus. Semut hitam mengikutinya dari belakang. "Untukku?", tanya kucing. "Ya, ini.. Yang itui untuk keluargaku", jelas semut hitam.

Kucing loreng pun makan dengan lahabnya. Sementara koloni semut pun juga membagi makanan untuk makan bersama. Namun, berhubung kucing lebih cepat makannya, maka jatah makanannya pun habis duluan. Dengan mata penuh harap, kucing itu menatap para koloni yang sedang menikmati makanan mereka. "Hai semut kecil, kalian hanya makhluk kecil, apa butuh banyak makanan?", ucap kucing. Seperti terkena tombol pause, seluruh koloni semut itu berhenti mengunyah makanan, mereka saling berpandangan. Apa yang ada di pikiran mereka semua sama, "pasti kucing ini masih kelaparan" pikir mereka.

Setelah berembug, akhirnya mereka memutuskan untuk memberikan jatah makanan mereka untuk kucing loreng. Dengan senang hati, kucing loreng pun menerimanya dan segera melahabnya.

"Ya, kasian dia, kalau kita masih bisa mencari makanan di bawah tanah, tapi kalau dia???", ucap salah satu semut. "Benar apa katamu", sahut semut lain. Mereka berkomentar, mengungkap simpati masing-masing. Sementara kucing loreng masih menikmati makanannya.

"Hei, apa kalian melupakan sang ratu??", teriak salah satu semut di barisan belakang. "Hah??!!", para koloni terbelalak, menyadari kesalahan mereka. Mereka lupa bahwa sang ratu sedang mengandung, dan hampir melahirkan. Ratu butuh makan, sekedar tenaga untuk melahirkan. Semut hitam langsung tanggap, segera dia menghampiri kucing loreng dan menceritakan masalah itu. "Kawan, maaf, kami lupa untuk membawakan makanan untuk ratu kami yang hampir melahirkan, maukah kau memberi kami seupa nasi untuk ratu kami?", dengan lembut semut hitam berbisik, dia pikir kucing loreng itu pasti sudah tidak temperamen lagi, toh sudah diberi banyak makanan.

"Apa??!! Kau sudah memberikannya padaku, tak bisa diambil lagi!!", ucap kucing loreng, tetap denga nada meninggi. "Ta...ta...tapi ini..ini...untuk ra...ra...ratu,", semut hitam mulai ketakutan mendengar gertakan kucing. Kucing loreng tak menjawab, tetap menikmati makanan yang tinggal beberapa bagian saja. "Sebutir saja," semut hitam bersikukuh meminta, demi ratunya.

Ketika nasi tinggal beberapa butir, para koloni menyerbunya. Namun dengan cekatan kucing loreng itu melahab semuanya. Terlambat. Para koloni itu terlambat. "Meooowng....aaarrrkkhh!", kucing loreng mengeong seperti melihat musuh. Kemudian dia berjalan menuju meja, melompat ke atasnya, kemudian melompat lagi ke ventilasi jendela yang lumayan lebar, cukup untuk mencaplok tubuhnya. Kucing loreng menoleh ke bawah, kemudian melompat keluar.

Mengingat kejadian itu, membuat semut hitam sesak dalam diamnya. Tertegun.
Tanpa kata. Semut hitam pun menangis..


Pendhapa Tedja Kusuma FBS UNY, 24 Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar