Aku percaya bahwa
ibuku lah yang melahirkan aku. Sama halnya aku percaya bahwa Allah telah
menjadikan aku seorang manusia yang mereka sebut perempuan atau wanita atau
cewek atau wadon atau wedok atau wanodya atau apa lah itu. Sama halnya juga
dengan aku percaya bahwa aku diciptakan lengkap dengan dua atributku, yaitu
kelebihan dan kekurangan. Sama juga demikian aku percaya bahwa Allah pasti
telah tepat memilihkan jalan untukku.
Di malam yang agak
mendung ini, berjalan menyendiri menyisiri setapak demi setapak perjalanan
kurengkuh. Bebatuan menyambutku, namun tidak menyumbatku, hanya menggelitik di
telapakan kakiku. Semut dan beberapa temannya berlarian montang manting
lantaran takut terinjak olehku. Ada juga guguk dan angsa yang mendekati dan
mengolokku sambil membuntuti bahkan menjajariku. Beberapa perwujudan lainnya (yang
sebangsa denganku) berkelebat di sekitarku, sesekali mendahuluiku dengan
berlari. Ya, berlari menggunakan sepatu mirip kepunyaan pesepak bola. Ada juga
yang berjalan santai gontai tak jauh dari aku. Dan di tepian sana, ada juga
yang hanya duduk sambil mengacungkan tangannya ke arahku dan berteriak berbagai
macam teriakan, “mengapa tak kau kenakan
sepatu seperti mereka??!”, “tak
usahlah tergesa-gesa, mereka tak akan menggigitmu!!”, atau “sudahlah, untuk apa lagi? Lihat,
dibelakangmu itu, mereka santai.” Bahkan ada yang berteriak “cepat!! Kau tak boleh kalah! Apalah artinya
sepatu, itu sama saja!!”, dan juga “terserah
kamu!! Itu perjalananmu!” dan “apaan
sih kalian ini!! Biasa aja!!”
Aku percepat
langkahku, hingga aku setengah berlari. Bukan karena aku takut, namun aku ingin
segera bersimpuh di sebuah rumah panggung dengan semilir angin buritan yang
membelai perasaanku. Namun ditengah perjalanan sesaat setelah aku terengah-rengah
karena berlari, aku melihat berkas cahaya di sudut jalan sana. Semakin dekat,
dan dekat. Uh, ini pun yang kualami beberapa kali di waktu yang lalu, seberkas
cahaya menghampiriku. Aku tak bermaksud mengajaknya ikut serta, namun berkas
itu meloncat begitu saja di atas kepalaku. Entah. Mungkin dia ingin punya
teman. Ya, di atas sana, dia punya beberapa teman yang beberapa waktu yang lalu
juga melakukan hal yang sama dengannya. Aku tak mengusirnya dari sana, biarkan
saja.
Aku melanjutkan
perjalanan, ditemani beberapa berkas cahaya yang berada di atas kepalaku,
membentuk setengah lingkaran. Persis seperti mahkota boneka barbey kepunyaanku
dulu. Berkasan itu menyinari jalan setapak di depanku, tidak membiarkan kakiku
meraba-raba sendiri bebatuan tajam di saentoro jalan. Mereka-mereka yang
melontarkan uneg-uneg tadi terdiam sejenak, melihat aku yang tak
mempedulikannya dan terus mengikuti arah bias cahaya dari atasku. Sesekali aku
menoleh dan tersenyum pada mereka, sekedar memberitahukan bahwa aku akan
baik-baik saja, di kegelapan ini, tanpa sepatu, dan sendiri. Sunyi.
Kadang aku ingin
berhenti dan duduk di tepian jalan, melepas penat yang erat, atau mungkin
mencari tempat adanya angin yang menyejukan. Namun setiap kali aku berniat ingin
menghentikan kepenatan itu, setitik berkas cahaya melompat di atas kepalaku.
Semakin banyak titik berkas cahaya yang menyertaiku, semakin berat aku
menjunjung kakiku sendiri namun semakin jelas mata ini menerawang. Mereka
memang berat. Tak seperti senter yang ringan. Lebih berat dari berat badanku
sendiri. Dan jika aku berhenti, sungguh-sungguh berhenti, maka satu demi satu
cahaya itu perlahan akan padam. Padam, dan berakhir gelap gulita. Jangankan
melihat jalan setapak itu lagi, untuk menunjuk hidungku saja mungkin akan
sulit.
Akhirnya aku
putuskan untuk tetap melangkah. Berirama seirama biasan cahaya yang tersorot.
Lelah yang mendera tak sempat aku pensiunkan dari bangku pejabat rasaku. Aku
melangkah, dan mereka yang ada di tepian itu kembali melempar berbagai teriakan
(lagi). Kupendam semua keinginanku seperti mereka yang duduk santai di tepian
jalan (walau bukan rumah panggung) ditemani semilirnya angin. Tenang. Aku
percaya aku kelak juga akan merasakannya. Entah dimana. Entah kapan. Yang jelas
itu pasti akan indah pada waktunya. Dan ibuku pasti akan tersenyum bahagia, air
mata itu akan berarti keharuan atas kebahagiaan, dan bapak pasti mengelusku
lembut,, saat aku bersimpuh di hadapan mereka, dan ditemani angin semilir yang
membelai hatiku dengan segala kehalalannya. Dan kupersembahkan segala berkas
cahaya di atas kepalaku kepada ibuku, ibuku, ibuku, dan bapakku,, dan beberapa
khusus untuk angin itu. Hingga ibu percaya bahwa ibu telah dipercaya untuk
melahirkan seorang anak yang penuh perjuangan, dan bapak bersyukur karena
titipan Allah ini akan tangguh seperti ibunya. Dan angin itu pun akan mengerti
bahwa kekuatan itu bukan terletak pada sepatu atau jaket tebal, itu terletak
pada dinding-dinding hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar