Senin, 06 Agustus 2012

Menuju Rumah Panggung


Aku percaya bahwa ibuku lah yang melahirkan aku. Sama halnya aku percaya bahwa Allah telah menjadikan aku seorang manusia yang mereka sebut perempuan atau wanita atau cewek atau wadon atau wedok atau wanodya atau apa lah itu. Sama halnya juga dengan aku percaya bahwa aku diciptakan lengkap dengan dua atributku, yaitu kelebihan dan kekurangan. Sama juga demikian aku percaya bahwa Allah pasti telah tepat memilihkan jalan untukku.

Di malam yang agak mendung ini, berjalan menyendiri menyisiri setapak demi setapak perjalanan kurengkuh. Bebatuan menyambutku, namun tidak menyumbatku, hanya menggelitik di telapakan kakiku. Semut dan beberapa temannya berlarian montang manting lantaran takut terinjak olehku. Ada juga guguk dan angsa yang mendekati dan mengolokku sambil membuntuti bahkan menjajariku. Beberapa perwujudan lainnya (yang sebangsa denganku) berkelebat di sekitarku, sesekali mendahuluiku dengan berlari. Ya, berlari menggunakan sepatu mirip kepunyaan pesepak bola. Ada juga yang berjalan santai gontai tak jauh dari aku. Dan di tepian sana, ada juga yang hanya duduk sambil mengacungkan tangannya ke arahku dan berteriak berbagai macam teriakan, “mengapa tak kau kenakan sepatu seperti mereka??!”, “tak usahlah tergesa-gesa, mereka tak akan menggigitmu!!”, atau “sudahlah, untuk apa lagi? Lihat, dibelakangmu itu, mereka santai.” Bahkan ada yang berteriak “cepat!! Kau tak boleh kalah! Apalah artinya sepatu, itu sama saja!!”, dan juga “terserah kamu!! Itu perjalananmu!” dan “apaan sih kalian ini!! Biasa aja!!”

Aku percepat langkahku, hingga aku setengah berlari. Bukan karena aku takut, namun aku ingin segera bersimpuh di sebuah rumah panggung dengan semilir angin buritan yang membelai perasaanku. Namun ditengah perjalanan sesaat setelah aku terengah-rengah karena berlari, aku melihat berkas cahaya di sudut jalan sana. Semakin dekat, dan dekat. Uh, ini pun yang kualami beberapa kali di waktu yang lalu, seberkas cahaya menghampiriku. Aku tak bermaksud mengajaknya ikut serta, namun berkas itu meloncat begitu saja di atas kepalaku. Entah. Mungkin dia ingin punya teman. Ya, di atas sana, dia punya beberapa teman yang beberapa waktu yang lalu juga melakukan hal yang sama dengannya. Aku tak mengusirnya dari sana, biarkan saja.

Aku melanjutkan perjalanan, ditemani beberapa berkas cahaya yang berada di atas kepalaku, membentuk setengah lingkaran. Persis seperti mahkota boneka barbey kepunyaanku dulu. Berkasan itu menyinari jalan setapak di depanku, tidak membiarkan kakiku meraba-raba sendiri bebatuan tajam di saentoro jalan. Mereka-mereka yang melontarkan uneg-uneg tadi terdiam sejenak, melihat aku yang tak mempedulikannya dan terus mengikuti arah bias cahaya dari atasku. Sesekali aku menoleh dan tersenyum pada mereka, sekedar memberitahukan bahwa aku akan baik-baik saja, di kegelapan ini, tanpa sepatu, dan sendiri. Sunyi.
Kadang aku ingin berhenti dan duduk di tepian jalan, melepas penat yang erat, atau mungkin mencari tempat adanya angin yang menyejukan. Namun setiap kali aku berniat ingin menghentikan kepenatan itu, setitik berkas cahaya melompat di atas kepalaku. Semakin banyak titik berkas cahaya yang menyertaiku, semakin berat aku menjunjung kakiku sendiri namun semakin jelas mata ini menerawang. Mereka memang berat. Tak seperti senter yang ringan. Lebih berat dari berat badanku sendiri. Dan jika aku berhenti, sungguh-sungguh berhenti, maka satu demi satu cahaya itu perlahan akan padam. Padam, dan berakhir gelap gulita. Jangankan melihat jalan setapak itu lagi, untuk menunjuk hidungku saja mungkin akan sulit.

Akhirnya aku putuskan untuk tetap melangkah. Berirama seirama biasan cahaya yang tersorot. Lelah yang mendera tak sempat aku pensiunkan dari bangku pejabat rasaku. Aku melangkah, dan mereka yang ada di tepian itu kembali melempar berbagai teriakan (lagi). Kupendam semua keinginanku seperti mereka yang duduk santai di tepian jalan (walau bukan rumah panggung) ditemani semilirnya angin. Tenang. Aku percaya aku kelak juga akan merasakannya. Entah dimana. Entah kapan. Yang jelas itu pasti akan indah pada waktunya. Dan ibuku pasti akan tersenyum bahagia, air mata itu akan berarti keharuan atas kebahagiaan, dan bapak pasti mengelusku lembut,, saat aku bersimpuh di hadapan mereka, dan ditemani angin semilir yang membelai hatiku dengan segala kehalalannya. Dan kupersembahkan segala berkas cahaya di atas kepalaku kepada ibuku, ibuku, ibuku, dan bapakku,, dan beberapa khusus untuk angin itu. Hingga ibu percaya bahwa ibu telah dipercaya untuk melahirkan seorang anak yang penuh perjuangan, dan bapak bersyukur karena titipan Allah ini akan tangguh seperti ibunya. Dan angin itu pun akan mengerti bahwa kekuatan itu bukan terletak pada sepatu atau jaket tebal, itu terletak pada dinding-dinding hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar