Lama tak
kutuliskan tentang hidupku (lagi) semenjak anganku runtuh (saat itu), sudah
setahun lebih. Begitu dalam kurasakan sebuah keterpurukan. Ketika aku bertahan
bersandar pada satu pohon, nyatanya pohon itu tidak berkenan menyanggaku, aku
terjatuh. Hingga akhirnya ditengah hempasanku di jurang pesakitan, aku ingin
menunggangi sebuah permadani yang bisa membawaku terbang dan bersembunyi di
sebuah hutan, hingga kelak aku keluar dari hutan itu dengan rupa rupa baruku
yang lebih siap untuk ‘hidup’.
Namun, sayang, kedua pahlawan yang telah
membesarkanku tidak mengijinkan aku menunggangi permadani dan masuk ke dalam
hutan itu. Aku masih tergolek di jurang pesakitan. Sesekali mengesot dan
berpegang pada rumput teki, berjinjit di atas tunggak pohon jati untuk
mengintip angkasa yang memantulkan bayang hutan rindang. Hembusan angin kuhirup
perlahan, merasakan hempasan aroma dari hutan itu, membuatku sedikit merasakan
nuansa di dalamnya dan membayangkan aku berada di sana. Berbulan – bulan aku di
situ, melakukan rutinitas itu, tanpa ada yang paham bahwa aku ingin sekali
keluar dari jurang itu dan menjadi bagian dari penghuni hutan itu.
Hari berganti
hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, bayang hutan itu semakin
jelas kulihat, rimbun pepohonan itu semakin membuatku ingin berlari ke arahnya.
Sebelum angka tahun berganti walau hanya satu digit, aku merasakan suatu
keteduhan di tempat dimana aku terduduk dalam jurang. Kutengadahkan wajah
sayuku, mendapati sebuah pohon rindang melambai ke arahku, memayungiku dari
terik mentari. Aku seperti mendapati sebuah
bayang nyata hutan itu, meskipun pohon itu tidak serindang pohon – pohon
yang ada di tengah hutan sana, dan juga tidak sekokoh pohon yang dulu
menjatuhkanku. Kuulurkan sulurku, membiarkan aku dan batang pohon itu
berlilitan, hingga aku bisa merasakan nuansa hutan yang sesungguhnya. Hingga
akhirnya di tengah perjalananku berbelit dengan batang pohon itu, di antara
cabang – cabang itu, aku berpapasan dengan sulur – sulur lain yang lebih dulu
melilitnya dan bahkan yang baru saja mulai melilitnya. Aku dan mereka saling
mencari tempat untuk melilit.
Ah…. Tuhan….Begitu sulit jalan ini kutempuh. Aku
tak mungkin berebut dengan mereka. Aku tak mungkin serakah. Namun aku tak
mungkin mampu berbagi tempat, jika hanya dengan sejengkal ruas pun aku akan
menggantung di udara tanpa ada yang menyangga. Tuhanku…. Aku terlanjur melilit
di sini, apa mungkin aku berbalik arah untuk melepas lilitanku?? Tuhanku,
maafkan aku… Aku yang lengah… Aku yang telah bodoh, hanya karena kecintaanku
akan sebuah impian untuk merasakan hutan itu, aku pertaruhkan semuanya…
Allah,
aku percaya bahwa tidak ada yang tidak mungkin, dan Engkau selalu
menyayangiku.. Namun aku telah berdosa besar. Aku telah salah jalan. Untuk
menggapai cinta-Mu melalui hutan itu, aku menyemai cintaku untuk membelit pohon
ini yang nyatanya mempunyai banyak cabang bersulur yang membuatku tak bisa
bergerak. Allah, maafkan aku…. Mungkin Engkau cemburu, hingga Kau tunjukan
betapa banyak sulur – sulur itu melilit pohon yang kulilit.
Maafkan aku…. Allah,
jika ini adalah pohon yang tepat untukku melanjutkan langkah, ijinkan aku
mencari tempat di sini untukku melilit tanpa ada sulur lain. Tapi jika bukan
pohon itu tempatku, maka bantulah aku berbalik arah melepas lilitan yang terlanjur
erat ini, aku tak mau menggantung di udara mobat mabit tertiup angin tanpa
penyangga. Dan kepada para sulur itu, maafkan aku yang pernah serakah mencari
tempat untukku membelit melanjutkan perjalananku. Maafkan keserakahanku.
Kini, bukan
kepada pohon manapun aku memapankan diri. Aku ingin kembali pada kecintaan
impian yang dulu. Entah bagaimana pun caranya. Telah lama aku membeku di sini.
Rinda Asy Syifa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar