Rabu, 10 Oktober 2012

aku pertaruhkan semuanya


Lama tak kutuliskan tentang hidupku (lagi) semenjak anganku runtuh (saat itu), sudah setahun lebih. Begitu dalam kurasakan sebuah keterpurukan. Ketika aku bertahan bersandar pada satu pohon, nyatanya pohon itu tidak berkenan menyanggaku, aku terjatuh. Hingga akhirnya ditengah hempasanku di jurang pesakitan, aku ingin menunggangi sebuah permadani yang bisa membawaku terbang dan bersembunyi di sebuah hutan, hingga kelak aku keluar dari hutan itu dengan rupa rupa baruku yang lebih siap untuk ‘hidup’. 

Namun, sayang, kedua pahlawan yang telah membesarkanku tidak mengijinkan aku menunggangi permadani dan masuk ke dalam hutan itu. Aku masih tergolek di jurang pesakitan. Sesekali mengesot dan berpegang pada rumput teki, berjinjit di atas tunggak pohon jati untuk mengintip angkasa yang memantulkan bayang hutan rindang. Hembusan angin kuhirup perlahan, merasakan hempasan aroma dari hutan itu, membuatku sedikit merasakan nuansa di dalamnya dan membayangkan aku berada di sana. Berbulan – bulan aku di situ, melakukan rutinitas itu, tanpa ada yang paham bahwa aku ingin sekali keluar dari jurang itu dan menjadi bagian dari penghuni hutan itu.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, bayang hutan itu semakin jelas kulihat, rimbun pepohonan itu semakin membuatku ingin berlari ke arahnya. Sebelum angka tahun berganti walau hanya satu digit, aku merasakan suatu keteduhan di tempat dimana aku terduduk dalam jurang. Kutengadahkan wajah sayuku, mendapati sebuah pohon rindang melambai ke arahku, memayungiku dari terik mentari. Aku seperti mendapati sebuah  bayang nyata hutan itu, meskipun pohon itu tidak serindang pohon – pohon yang ada di tengah hutan sana, dan juga tidak sekokoh pohon yang dulu menjatuhkanku. Kuulurkan sulurku, membiarkan aku dan batang pohon itu berlilitan, hingga aku bisa merasakan nuansa hutan yang sesungguhnya. Hingga akhirnya di tengah perjalananku berbelit dengan batang pohon itu, di antara cabang – cabang itu, aku berpapasan dengan sulur – sulur lain yang lebih dulu melilitnya dan bahkan yang baru saja mulai melilitnya. Aku dan mereka saling mencari tempat untuk melilit. 

Ah…. Tuhan….Begitu sulit jalan ini kutempuh. Aku tak mungkin berebut dengan mereka. Aku tak mungkin serakah. Namun aku tak mungkin mampu berbagi tempat, jika hanya dengan sejengkal ruas pun aku akan menggantung di udara tanpa ada yang menyangga. Tuhanku…. Aku terlanjur melilit di sini, apa mungkin aku berbalik arah untuk melepas lilitanku?? Tuhanku, maafkan aku… Aku yang lengah… Aku yang telah bodoh, hanya karena kecintaanku akan sebuah impian untuk merasakan hutan itu, aku pertaruhkan semuanya… 

Allah, aku percaya bahwa tidak ada yang tidak mungkin, dan Engkau selalu menyayangiku.. Namun aku telah berdosa besar. Aku telah salah jalan. Untuk menggapai cinta-Mu melalui hutan itu, aku menyemai cintaku untuk membelit pohon ini yang nyatanya mempunyai banyak cabang bersulur yang membuatku tak bisa bergerak. Allah, maafkan aku…. Mungkin Engkau cemburu, hingga Kau tunjukan betapa banyak sulur – sulur itu melilit pohon yang kulilit. 

Maafkan aku…. Allah, jika ini adalah pohon yang tepat untukku melanjutkan langkah, ijinkan aku mencari tempat di sini untukku melilit tanpa ada sulur lain. Tapi jika bukan pohon itu tempatku, maka bantulah aku berbalik arah melepas lilitan yang terlanjur erat ini, aku tak mau menggantung di udara mobat mabit tertiup angin tanpa penyangga. Dan kepada para sulur itu, maafkan aku yang pernah serakah mencari tempat untukku membelit melanjutkan perjalananku. Maafkan keserakahanku.

Kini, bukan kepada pohon manapun aku memapankan diri. Aku ingin kembali pada kecintaan impian yang dulu. Entah bagaimana pun caranya. Telah lama aku membeku di sini.

Rinda Asy Syifa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar