Pagi ini, udara
terasa dingin menusuk tulangku. Ujung kakiku tampak pucat, dingin, namun aku
masih bernafas. Sehelai jarik berpatik parang ini menyelimutiku. Entah, aku
enggan beranjak dari pembaringan. Aku tau, tumpukan pekerjaan rumah masih
antri, banyak. Namun mata ini masih belum mau beralih pada beberapa buku yang
tertumpuk di sampingku. Tangan ini belum melepaskannya, dan membiarkan sorot
mataku menjelajahinya dengan leluasa. Sesekali tangan ini mengambil jajan
oleh-oleh bapak dari pulau seberang semalam (entah apa namanya, aku nggak tau).
Posisiku pun terus beralih, mulai dari tiduran, tengkurep, miring, njengking,
duduk, ada ada saja cara biar aku tak memasukan kode kejenuhan kepada si
skoliku. Meski mata ini lelah, lantaran kacamataku rusak dan aku tidak
memakainya selama liburan ini, namun belum ingin berhenti juga.
Bapak pergi kerja,
ibu menemani adik ke PAUD, adikku ke sekolah, kakakku entah mandi entah ngapai
di kawasan sumur sana. Dan aku? Masih di sini, ditemani tumpukan buku yang baru
saja selesai kuberi pakaian semalam.
Di tengah
kedinginan dan keasyikan, aku sempat menitiskan air mata (biar saja, toh di
sini aku sendirian) saat mataku terperangkap pada sebuah alinea di pojok
halaman sebuah majalah islami. Itu tentang sholat. Ya, tentang sebuah
kewajibanku, sholat. Entah, tiba-tiba aku merasa bahwa aku telah melakukan
kesalahan besar. Terlalu besar, dan akibat dari perbuatanku itu telah aku
rasakan. Ya, Allah telah membalasnya. Bukan di akhirat, namun di dunia. Aku
telah berbuat dosa, sebut saja itu adalah dosa.
Jika balasan di
dunia saja sudah kurasakan sedemikian berat dan menguras air mataku sejak tiga
taun lalu, apa yang akan terjadi dengan balasan di akhirat kelak? Aku
samasekali tak menyangka bahwa peristiwa tiga taun silam adalah sebuah
‘balasan’ dan juga peringatan. Mengapa selama ini aku tak menyadarinya? Kemana
saja aku? Betapa ‘ndhableg’nya aku. Mengapa baru sekarang aku mengetahuinya?
Penyesalan yang
hampir terlambat, kawan. Lihat, mentari masih bersinar di ujung sana, meskipun
kau tetap kedinginan. Lihat, ocehan burung di luar sana masih ramai, meskipun
kau sendirian. Berharaplah esok masih ada mentari, dan masih ada ocehan burung.
Ya, ini adalah
secercah sinar yang kutuju beberapa watu lalu ketika aku berada di taman.
(mungkin). Sejuta rasa yang aku rasakann, tentang hidupku, tentang ridho Allah
yang tak henti kuharapkan. Terlalu hina diri ini untuk mengarap ridho-Nya, jika
‘peringatan’-Nya pun aku tak paham, jika bersyukur pun aku jarang.
Untuk
bapak-mamak-adik2-kakak, tenanglah, aku tak akan mengeluhkannya lagi, hingga
kelak aku mencium bau surga. Untuk para sahabatku, maaf jika telah merepotkan
kalian dengan berbagai keluh kesahku. Untuk dokterku, maaf pak dokter, pasienmu
telah kabur tanpa kabar.
Aku bersyukur,
telah kutemukan obat penyembuh sakitku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar