Senin, 02 Mei 2011

Aku Menemukannya


Pagi ini, udara terasa dingin menusuk tulangku. Ujung kakiku tampak pucat, dingin, namun aku masih bernafas. Sehelai jarik berpatik parang ini menyelimutiku. Entah, aku enggan beranjak dari pembaringan. Aku tau, tumpukan pekerjaan rumah masih antri, banyak. Namun mata ini masih belum mau beralih pada beberapa buku yang tertumpuk di sampingku. Tangan ini belum melepaskannya, dan membiarkan sorot mataku menjelajahinya dengan leluasa. Sesekali tangan ini mengambil jajan oleh-oleh bapak dari pulau seberang semalam (entah apa namanya, aku nggak tau). Posisiku pun terus beralih, mulai dari tiduran, tengkurep, miring, njengking, duduk, ada ada saja cara biar aku tak memasukan kode kejenuhan kepada si skoliku. Meski mata ini lelah, lantaran kacamataku rusak dan aku tidak memakainya selama liburan ini, namun belum ingin berhenti juga.

Bapak pergi kerja, ibu menemani adik ke PAUD, adikku ke sekolah, kakakku entah mandi entah ngapai di kawasan sumur sana. Dan aku? Masih di sini, ditemani tumpukan buku yang baru saja selesai kuberi pakaian semalam.

Di tengah kedinginan dan keasyikan, aku sempat menitiskan air mata (biar saja, toh di sini aku sendirian) saat mataku terperangkap pada sebuah alinea di pojok halaman sebuah majalah islami. Itu tentang sholat. Ya, tentang sebuah kewajibanku, sholat. Entah, tiba-tiba aku merasa bahwa aku telah melakukan kesalahan besar. Terlalu besar, dan akibat dari perbuatanku itu telah aku rasakan. Ya, Allah telah membalasnya. Bukan di akhirat, namun di dunia. Aku telah berbuat dosa, sebut saja itu adalah dosa.

Jika balasan di dunia saja sudah kurasakan sedemikian berat dan menguras air mataku sejak tiga taun lalu, apa yang akan terjadi dengan balasan di akhirat kelak? Aku samasekali tak menyangka bahwa peristiwa tiga taun silam adalah sebuah ‘balasan’ dan juga peringatan. Mengapa selama ini aku tak menyadarinya? Kemana saja aku? Betapa ‘ndhableg’nya aku. Mengapa baru sekarang aku mengetahuinya?

Penyesalan yang hampir terlambat, kawan. Lihat, mentari masih bersinar di ujung sana, meskipun kau tetap kedinginan. Lihat, ocehan burung di luar sana masih ramai, meskipun kau sendirian. Berharaplah esok masih ada mentari, dan masih ada ocehan burung.

Ya, ini adalah secercah sinar yang kutuju beberapa watu lalu ketika aku berada di taman. (mungkin). Sejuta rasa yang aku rasakann, tentang hidupku, tentang ridho Allah yang tak henti kuharapkan. Terlalu hina diri ini untuk mengarap ridho-Nya, jika ‘peringatan’-Nya pun aku tak paham, jika bersyukur pun aku jarang.
Untuk bapak-mamak-adik2-kakak, tenanglah, aku tak akan mengeluhkannya lagi, hingga kelak aku mencium bau surga. Untuk para sahabatku, maaf jika telah merepotkan kalian dengan berbagai keluh kesahku. Untuk dokterku, maaf pak dokter, pasienmu telah kabur tanpa kabar.
Aku bersyukur, telah kutemukan obat penyembuh sakitku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar