Aku bukan mesin. Sekali lagi aku katakan, pada rumput-rumput teki di sebawah semak
belukar, pada pucuk-pucuk pinus yang menjulang, pada tepian daunt alas yang
kadang menggoyangkan butir air, juga pada seekor semut di atas batu hitam itu.
Aku katakan bahwa aku bukan mesin.
Tak
sadar mereka memberi julukan pada semua saudara mereka, masing-masing terlihat
menyenangkan. Lalu apa julukan untuk seorang kecil macam aku? Hah. Si Mesin!
Apa yang ada dibenak mereka tentang aku? Si Mesin kecil ini.
Aku punya mata,
dua, sama seperti mereka. Aku punya tangan, dua, sama seperti mereka. Aku punya
hidung, mulut, kaki, perut, dan lain lain semua sama seperti mereka. Lalu kalau
aku mereka sebut “mesin”, lalu mereka apa? Teman mesin, solar, bensin, batu
bara, gas LPJ, apa lagi? Itu pun bukan!
Aku
bukan mesin. Sekali lagi aku katakan, aku bukan mesin. Mereka kurang benar jika
memandangku sebagai sebongkah mesin yang punya tombol-tombol untuk dipencet
sesuka hati dan mengendalikannya. Seperti ketika menyalakan magiccomku, aku nyalakan
lalu aku tinggal pergi lalu pas aku kembali nasinya sudah matang. Hah! Aku
bukan magiccom! Juga bukan blender! Buka juga mesin cuci! Aku bukan mesin!
Andai
mereka tau. Gelundungan tulang belulang yang mereka sebut “mesin” ini kadang
ingin rehat dari semuanya. Ketika dia terlalu keras mempekerjakan seluruh
bagian-bagiannya, nafasnya itu kadang tersengal. Siapa yang paham kalau mesin
punya pernafasan, bahkan nafas itu sesak. Konyol sekali jika ada berita “mesin
pun sesak nafas”. Hah…lelucon konyol.
Sebenarnya,
aku adalah alien. Alien yang berasal dari planet R. Alien yang mereka pandang
sebagai “mesin”. Sebenarnya ini bukan planetku, aku hanya mampir, karena
mendapat dhawuh dari sespuh untuk mampir ke planet ini. Aku
adalah alien! Aku adalah penyusup! Aku adalah tamu! Tamu yang menjadi mesin di
rumah si tuan rumah. Lelucon apa lagi. Sama sekali hambar!
Alien
kini lelah. Mesin itu kini sudah panas. Aku bukan mesin. Aku bukan mesin.
Karena aku bukan mesin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar