Hujan pagi ini terasa hangat menyapaku. Ketika sepasang sepatuku
kudapati dalam keadaan basah di depan kamar. Kehangatan yang kurasakan, bahkan
lebih hangat daripada perapian tungku di dapur. Dinginnya air di kolah tak lagi
terasa dingin oleh poriku. Tetesan air dari atap sana tak terasa olehku. Aku
membeku.
Mungkin airmataku lebih dingin dari semua itu. Hingga suhu abstrak yang
dia ciptakan jauh dibawah suhu alam yang mengitarinya. Basahnya hatiku olehnya,
lebih membekukan daripada kubangan-kubangan di tepian jalanan.
Maaf kepada aku yang sedang menikmati acara pelapukan. Mirip seperti keterangan ibu guru di SMP dulu, pelapukan
terjadi karena perubahan suhu dadakan yang sangat kontras. Benar saja, pelapukan
sungguh terjadi.
Hujan menyapaku, sekali lagi, hujan menyapaku. Desir suara rincikan air
merasuk sumsum tulang belakangku. Mengingatkanku pada masa itu, saat aku
terbaring di balik tirai kamar rumah sakit, ditemani puluhan jarum di sekujur
badanku. Masih ingat betul suara pak dokter yang lemah lembut menghibur anak
kecil yang meneteskan air mata ini. Masih ingat betul pamitan bapak ketika
meninggalkanku keluar kamar. Masih ingat betul sambutan mamak di depan pintu
penuh kasih, tetap menghibur aku yang menyerahkan foto rongsen dengan pasrah. Masih
ingat betul hiburan masku dan adikku yang tak henti, membujuk aku untuk keluar
kamar lantaran aku mengurung diri. Masih ingat betul. Hujan ini, sama seperti
hujan pada masa itu, hujan yang menemaniku bercinta dengan jarum.
Tak terasa memang, sudah dua tahun lebih masa itu berlalu. Namun memoir
tentang itu masih lekat erat di benakku. Tulisan tangan pak dokter yang tertera
di amplop besar itu, “Nn Rinda, 16 thn”. Masih terlalu labil gadis seusia itu
untuk menerima kenyataan, bahkan itu adalah saat menjelang ujian nasional,
sungguh jika saja ada yang mau merasakan, mungkin akan paham tentang
perjuangannya yang dahsyat. Vonis itu, berita datangnya adik baru, percikan api
kecil dalam silsilah, berpadu menyatu menemaninya menyambut ujian nasional.
Walhasil dengan keterpurukan psikis yang menyerangnya, gadis itu mampu merampungkan
masa SMA nya dan melesat meninggalkan masa kepenjarahan itu.
Maaf, memang seperti ini nostalgia ketika hujan menyapa. Sapaan yang
hangat. Menghiasi al kisah penghujung 18 ku. Memutar momoar masa lalu untuk
instroprksi diri dan mengukur serta up grade kualitas diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar